Senin, Januari 26, 2009

Urgensi Pendidikan Bagi Anak Usia Pra Sekolah


Dalam Bahasa Indonesia, kata pendidikan terdiri dari kata didik yang mendapat awalan pen dan akhiran an, yang berarti hal atau cara mendidik. (WJS. Poerwadarminta: 1991: 250) Kata pendidikan sering pula digunakan sebagai terjemahan kata education dalam Bahasa Inggris dan kata tarbiyah dalam Bahasa Arab. Istilah pendidikan ini semula berasal dari Bahasa Yunani yaitu paedagogie yang berarti bimbingan yang diberikan kepada anak. (Peter Salim, 1993: 267. Lihat juga Moh. Athiyah al-Abrasyi, 197:. 22).
Dengan demikian pendidikan lebih tepat diartikan sebagai suatu proses pembinaan, bimbingan, yang dilakukan seseorang secara terus menerus kepada anak didik didik hingga tercapainya tujuan pendidikan. Proses pendidikan merupakan perjalanan yang tak pernah terhenti sepanjang hidup manusia dan merupakan hal yang sangat signifikan dalam kehidupan manusia.
Menurut Azyumardi Azra, kata pendidikan telah didefinisikan secara berbeda-beda oleh berbagai kalangan yang banyak dipengaruhi oleh pandangan dunia masing-masing. Namun pada dasarnya semua pandangan yang berbeda itu bertemu dalam semacam kesimpulan awal bahwa pendidikan merupakan suatu proses penyiapan generasi muda untuk menjalankan kehidupan dan memenuhi tujuan hidupnya secara lebih efektif dan efisien. (Azyumardi Azra: 2005: 3)
Berdasarkan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional No. 20 tahun 2003, pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujukan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia serta ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat bangsa dan negara.
Dalam perkembangannya istilah pendidikan berarti bimbingan atau pertolongan yang diberikan dengan sengaja terhadap anak didik oleh orang dewasa agar ia menjadi dewasa. Dalam perkembangan selanjutnya, pendidikan berarti usaha yang dijalankan oleh seseorang atau sekelompok orang untuk mempengaruhi seseorang atau sekelompok orang agar menjadi dewasa atau mencapai tingkat hidup dan penghidupan yang lebih tinggi dalam arti mental. (Nur Uhbiyati: 1998: 7)
Dalam pengertian yang sederhana, makna pendidikan sering diartikan sebagai usaha manusia untuk menumbuhkan dan mengembangkan potensi-potensi pembawaan baik jasmani maupun rohani sesuai dengan nilai-nilai yang ada di dalam masyarakat dan kebudayaan. Usaha-usaha yang dilakukan untuk menanamkan nilai-nilai dan norma-norma tersebut serta mewariskannya kepada generasi berikutnya untuk dikembangkan dalam hidup dan kehidupan yang terjadi dalam suatu proses pendidikan. Karenanya bagaimanapun peradaban suatu masyarakat, didalamnya berlangsung dan terjadi suatu proses pendidikan sebagai suatu usaha manusia untuk melestarikan hidupnya. Atau dengan kata lain bahwa pendidikan dapat diartikan sebagai suatu hasil peradaban bangsa yang dikembangkan atas dasar pandangan hidup bangsa itu sendiri (nilai dan norma masyarakat) yang berfungsi sebagai filsafat pendidikannya atau sebagai cita-cita dan pernyataan tujuan pendidikannya.
Pendidikan bagi kehidupan manusia merupakan kebutuhan mutlak yang harus dipenuhi sepanjang hayat. Tanpa pendidikan sama sekali mustahil suatu kelompok manusia dapat hidup berkembang sejalan dengan aspirasi (cita-cita) untuk maju, sejahtera, dan bahagia menurut konsep pandangan hidup mereka.
Semakin tinggi cita-cita manusia semakin menuntut untuk peningkatan mutu pendidikan sebagai sarana mencapai cita-cita tersebut. Akan tetapi di balik itu, karena semakin tinggi cita-cita yang hendak di raih, maka semakin kompleks jiwa manusia, karena di dorong oleh tuntutan hidup yang meningkat pula. Itulah sebabnya pendidikan beserta lembaga-lembaganya harus menjadi cermin dari cita-cita kelompok manusia di satu pihak dan pada waktu bersamaan, pendidikan sekaligus menjadi lembaga yang mampu mengubah dan meningkatkan cita-cita hidup kelompok manusia sehingga tidak terbelakang dan statis.
Dalam konteks pendidikan Islam, Ahmad D. Marimba mengartikan sebagai proses bimbingan jasmani, rohani berdasarkan hukum-hukum agama Islam menuju kepada terbentuknya kepribadian utama menurut ukuran-ukuran Islam. Dengan pengertian yang lain seringkali beliau mengatakan kepribadian utama tersebut dengan istilah kepribadian muslim, yaitu kepribadian yang memiliki nilai-nilai agama Islam, memilih dan memutuskan serta berbuat berdasarkan nilai-nilai Islam dan bertanggung jawab sesuai dengan nilai-nilai Islam. (Safruddin Nurdin: 2002)
Menurut Hasan Langgulung, pendidikan Islam ialah pendidikan yang memiliki macam fungsi sebagai berikut:
1. Menyiapkan generasi muda untuk memegang peranan tertentu dalam masyarakat pada masa yang akan datang. Peranan ini berkaitan erat dengan kelanjutan hidup masyarakat sendiri.
2. Memindahkan ilmu pengetahuan yang bersangkut dengan peranan tersebut dari generasi tua kepada generasi muda.
3. Memindahkan nilai-nilai yang bertujuan memelihara keutuhan dan kesatuan masyarakat yang menjadi syarat mutlak bagi kelanjutan hidup suatu masyarakat dan peradaban. Dengan kata lain, tanpa nilai-nilai keutuhan dan kesatuan suatu masyarakat, maka kelanjutan hidup tersebut tidak akan dapat terpelihara dengan baik yang akhirnya akan berkesudahan dengan kehancuran masyarakat itu sendiri.
Dilihat dari pendapat di atas, pendidikan merupakan satu proses yang harus dilakukan secara beekesinambungan, dari dalam kandungan, usia dini, remaja, dewasa, hingga usia lanjut. Dalam perspektif Islam, pendidikan selalu dianggap sebagai sesuatu yang wajib, tidak boleh terhenti dengan alasan apapun..
Pada dasarnya pendidikan berkepentingan mengarahkan manusia kepada tujuan tertentu. Pemahaman tentang manusia bagi seorang pendidik bisa dikiaskan dengan seorang pandai besi yang mengenal jenis-jenis besi sehingga memudahkan dia membentuk logam ini menjadi alat-alat yang dikehendakinya. Oleh karena itu pemahaman manusia sangat penting dalam dunia pendidikan, karena sangat mempengaruhi segala proses yang terjadi.
Menurut penulis, pendidikan Islam adalah suatu kegiatan yang dilakukan oleh pendidik dalam mengarahkan pertumbuhan dan perkembangan anak didik menjadi manusia dewasa sesuai dengan tujuan pendidikan Islam. Ada tiga hal yang bisa dirumuskan dari berbagai tujuan pendidikan Islam yang mengemuka, yakni pertama, menjadikan manusia sebagai khalifah fi al-ard. Hal ini sesuai dengan firman Allah Swt:
"…..Sesungguhnya Aku akan mengangkat seorang (manusia) khalifah di muka bumi".
Sebagai khalifah, manusia harus mempunyai kemampuan dalam memelihara, mengatur, dan mengembangkan potensi dasar yang heterogen dari yang dipimpinnya itu atas dasar amanah, bukan atas prinsip privatisasi. Dengan demikian tujuan pendidikan Islam sebagaimana yang tergambar dalam uraian di atas pada dasarnya adalah “memelihara dan mengembangkan kehidupan, sebab hidup merupakan fitrah yang paling dasar bagi manusia.”
Kedua, mengarahkan manusia menuju kehidupan yang seimbang antara kehidupan dunia dan akhirat. Hal ini didasarkan pada satu konsep bahwa manusia diciptakan dari dua unsur –jasmani dan rohani—yang sangat memungkinkan untuk bisa dilakukan proses pendidikan. Dalam proses pendidikan, keduanya tidak mungkin dipisahkan, karenanya dalam mengarungi kehidupannya pun antara fisik dan non fisik (duniawi dan ukhrowi) memiliki hak yang sama dalam memperoleh pendidikan. Tujuan pendidikan yang bersifat duniawi biasanya meliputi ranah, kognitif, psikomotorik, dan afektif. Sementara pendidikan ukhrowi lebih ditujukan kepada pendidikan spiritual, bagaimana manusia lebih bertaqwa, beriman, dan lebih dekat dengan sang Maha Pencipta. Ketiga, menjadikan manusia sebagai makhluk yang berakhlak mulia dan dapat melaksanakan tujuan hidupnya. Pendapat ketiga ini dapat dilihat dalam pendapatnya Mohammad 'Athiyah al-Abrasy; beliau menjelaskan bahwa "pendidikan budi pekerti adalah jiwa dari pendidikan Islam, dan Islam telah menyimpulkan bahwa pendidikan budi pekerti dan akhlak adalah jiwa pendidikan Islam. Mencapai suatu akhlak yang sempurna adalah tujuan sebenarnya dari pendidikan Islam".
Sejalan dengan tujuan pendidikan Islam di atas, dalam UU Sistem Pendidikan Nasional juga dijabarkan bahwa pendidikan bertujuan meningkatkan kualitas manusia Indonesia, yakni manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berbudi pekerti luhur, berkepribadian, berdisiplin, bekerja keras, tangguh, bertanggung jawab, mandiri, cerdas dan trampil serta sehat jasmani dan rohani.
Untuk mencapai tujuan pendidikan yang diinginkan, salah satu upaya yang harus dilakukan adalah dengan melalui kerjasama intensive antara orang tua, sekolah, masyarakat, dan pemerintah dalam memajukan dunia pendidikan. Pendidikan tidak lagi harus diklaim menjadi tanggung jawab sekolah dan pemerintah saja, tetapi bagaimana menciptakan image kalau pendidikan menjadi tanggung jawab kita bersama.
Sementara, anak Usia dini atau pra sekolah berarti anak yang belum menginjakkan ke jenjang sekolah atau anak yang secara umur belum boleh melakukan aktifitas sekolah. Usia-usia pra sekolah sering ditafsirkan kira-kira umur 3-6 tahun, ada juga dari umur 2-6 tahun. Kelihatnnya tidak ada perbedaan batas usia pra sekolah, yakni 6 tahun, namun kapan dimulainya usia pra sekolah beberapa tokoh pendidikan berbeda pendapat, ada yang mengatakan dua tahun dan ada pula yang mengatakan 3 tahun untuk dimulainya usia pra sekolah. Terlepas dari perbedaan tersebut, penulis berpendapat bahawa anak pra sekolah bisa ditujukan kepada mereka yang belum memasuki jenjang sekolah dasar, yang belum memiliki kematangan untuk sekolah. Pada dasarnya, anak adalah makhluk Tuhan yang sejak kelahirannya tampak tidak memiliki kemampuan apa-apa, bahkan kalau dalam bahasa Jhon Lhoke anak laksana tabularasa atau kain putih yang ternoda tinta apa pun, orang tuanyalah yang nantinya akan membentuk dan menjadikan anak tersebut menjadi manusia yang diinginkannya. Oleh karenanya, dalam proses pendidikan anak pra sekolah, peran keluarga dan orang tua menjadi hal paling signifikan terutama dalam proses pembentukan mental dan kepribadian anak. Hal ini sejalan dengan pendapat para ahli psikologi dan pendidikan yang menyatakan bahwa tahun-tahun pertama kehidupan anak merupakan masa paling penting bagi pembentukan kepribadian dan penanaman sifat-sifat dasar. (Munzier Suparta, 2003, h. 201)
Ada banyak istilah yang bisa diberikan kepada anak pra sekolah antara lain: usia prakelompok, penjelajah, problematic, dan usia bertanya. Disebut sebagai usia prakelompok karena pada masa ini anak-anak mempelajari perilaku social sebagai persiapan bagi kehidupan social yang lebih tinggi. Usia penjelajah karena masa ini anak-anak gemar menjelajahi lingkungan karena dorongan ingin tahu terhadap alam sekitar, inilah yang menyebabkan anak pada usia pra sekolah sering melontarkan berbagai pertanyaan terhadap orang tuanya. Sementara penyebutan masa problematic karena adanya anggapan kalau pada usia tersebut terlampau sulit bagi orang tua, pendidik untuk melakukan proses pendidikan, mereka lebih senang bermain dari pada belajar.
Hal ini sebagaimana dikemukaka Sigmund Freud, bila anak sudah dapat bergaul dan menyesuaikan diri dengan kehidupan kelompoknya, berarti das ichnya sudah dapat mengendalikan das esnya atau egonya. Dan kemudian mulai berfungsi super egonya. Super ego mulai terbentuk muali umur 5- 6 tahun. Dengan super ego ini, yang terdiri dari jiwa hati nurani, norma-norma dan cita-cita abadi, berarti anak mulai dapat mengenal nilai-nilai yang berlaku dalam kehidupan sosialnya dan sekaligus memperkembang-kan pribadinya. Justru dalam interaksi sosial itu manusia dapat merealisasi kehidupannya secara individual, sebab tanpa timbal balik dalam interaksi sosial itu, ia tidak dapat merealisasikan kemungkinan-kemungkinan dan potensi-potensinya sebagai individu, yang baru memperoleh perangsangnya dan asuhannya di dalam kehidupan berkelompok dengan manusia lainnya.
Usia pra sekolah adalah masa awal pertumbuhan dan pembentukan mental anak dalam mengenal lingkungan sekitarnya. Pada usia ini, anak harus dibantu dalam mengenal alam di sekitarnya, anak akan sangat mudah menerima dan meniru apa yang ia lihat, apalagi diajarkan. Oleh karenaya, proses pendidikan pada usia ini menjadi sesuatu yang paling berarti, terutama pendidikan yang dilakukan kedua orang tuanya. Dalam Peraturan Pemerintah No. 27 tahun 1990 disebutkan bahwa Pendidikan prasekolah adalah pendidikan untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani anak didik di luar lingkungan keluarga sebelum memasuki pendidikan dasar, yang diselenggarakan di jalur pendidikan sekolah atau di jalur pendidikan luar sekolah.
Dalam kaitannya dengan pendidikan anak, sebuah proses pemeliharaan, bimbingan, arahan, kasih sayang, penyaluran minat dan bakat, sebagai bagian tak terpisahkan dari pendidikan menjadi sangat urgen untuk diberikan para orang tua dan masyarakat, sebagai langkah terlaksananya pendidikan lain yang lebih baik.

Pendidikan Anak


Tanggung jawab pendidikan semestinya bukan hanya menjadi tanggung jawab institusi sekolah saja, akan tetapi peran kedua orang tua dalam mencerdaskan anak menjadi sangat dominan. Orang tualah yang harus mengenalkan anaknya kepada agama, budi pekerti, akhlak, lingkungan sekitar, bahkan kalau perlu ilmu-ilmu lain yang anak perlukan sampai pada pemilihan institusi pendidikan yang baik.
Masalah anak-anak dan pendidikan adalah suatu proses yang amat menarik perhatian. Sejak awal kehidupan anak, secara terus menerus dihadapkan bahkan dituntut untuk selalu mampu menyesuaikan diri atau bersosialisasi dengan lingkungannya. Lingkungan di mana anak hidup secara terus menerus berubah. Keluarga tentu saja adalah lingkungan pertama yang menuntut anak agar mampu menyesuaikan diri dengan baik. Meningkatnya usia dan kematangan, diharapkan anak mampu bersosialisasi dan menyesuaikan diri dengan lingkungan sekitar. Di rumah, anak-anak hanya tinggal dengan orang tua dan mungkin juga anggota keuarga lainnya. Namun setelah mereka berada di luar keluarga, lingkungan yang beragam sifat dan tuntutannya akan ikut pula mempengaruhi kemampuan penyesuaian diri anak tersebut.
Keterlibatan orang tua terhadap pendidikan anak sangat diperlukan terutama pada usia-usia dini atau usia anak pra sekolah. Anak pra sekolah adalah mereka yang berusia antara 3-6 tahun. Setiap anak adalah unik, dalam arti pola dan saat pertumbuhan dan perkembangan, baik kepribadian, gaya pembelajaran dan latar belakang keluarga. Pengalaman-pengalaman yang dilalui waktu kecil, pahit maupun menyenangkan semuanya akan berpengaruh dalam kehidupan nantinya. Karena kepribadian terbentuk dari pengalaman waktu kecil, terutama dari tahun-tahun pertama anak. Pengalaman-pengalaman itu termasuk di dalamnya pendidikan anak atau juga keadaan lingkungan sekitar, termasuk lingkungan keluarga.
Bagi anak-anak yang masih kecil pendidikan merupakan hal vital, terutama menyangkut pendidikan agama. Hal ini dikarenakan pelajaran agama mudah masuk bila fundamental keimanan sudah tertanam sejak awal. Dalam konteks ini, Islam sudah mengatur pola pendidikan anak dalam agama. Sejak dalam kandungan, para orang tua –terutama ibu—disarankan untuk selalu berbuat baik, bertutur sapa yang baik, memberikan bacaan ayat-ayat suci al-Qur’an, bahkan ketika melahirkan pun sanga bapak disarankan melantunkan lafadz adzan dan iqomat. Bentuk pendidikan agama pun sangat terlihat pada aqiqah, yakni menyembelih seekor hewan sebagai bentuk rasa syukur atas kehadiran seorang anak dalam keluarga. Usia 7 tahun anak itu disuruh shalat oleh orang tuanya. Dan bila telah mencapai umur 10 tahun belum juga melaksanakan shalat, masih bermalas-malasan mengerjakannya, diperkenankan memukulnya. Namun karena kesibukan para orang tua terhadap pekerjaan, terkadang pendidikan anak terlupakan bahkan banyak dari para orang tua yang secara tega menitipkan anak-anaknya kepada lembaga-lembaga pendidikan untuk diberi pengajaran dan pendidikan.
Padahal di lembaga-lembaga pendidikan yang ada hanya memberikan pengajaran, bukan pendidikan. Kalaupun ada pendidikan, hanyalah pendidikan yang salah, yakni pendidikan yang menghilangkan kepribadian. Secara kognitif mungkin saja anak-anak yang belajar di lembaga-lembaga tersebut pandai, tetapi secara aplikatif psikomotorik masih jauh dari tujuan pendidikan yang sebenarnya.
Pengaruh keadaan sekeliling, pengaruh pekerjaan, kepandaian dan pendidikan orang tua di zaman dahulu sangat besar kepada anaknya. “Air turun dari cucuran atap”, demikian kata pepatah. Hal itu pun menurun kepada anaknya, demikian juga jika ayahnya orang pintar, tampak kepintaran itu akan turun pula kepada anak. Tetapi tidak dapat kalau ayah saja yang membimbing anak itu, sebab seorang punya tugas lain di rumah. Di sinilah gunanya guru. Anak yang ayahnya bodoh, mungkin tidak menurun bodoh ayahnya lagi, sebab ada gurunya. Anak yang ayahnya pintar, sehingga ada harapan pula anaknya jadi pintar, maka harapan itu akan tinggal harapan kalau tidak ada guru yang memimpinnya.[]