Senin, Juni 09, 2008

SKB 3 Menteri & Harapan Ummat Beragama

Setelah sekian ummat Islam berada dalam penantian panjang menunggu keputusan Pemerintah terhadap keberadaan Jamaah Ahmadiyyah Indonesia (JAI). Setelah melalui proses diskusi panjang, bahkan riset yang dilakukan pihak Pemerintah atau lembaga tertentu memberikan beberapa rekomendasi bahwa keberadaan JAI perlu dikaji ulang. Alhasil pada Senin 9 Juni 2008 Surat Keptusan Bersama (SKB) 3 Menteri, dalam hal ini Menteri Agama, Menteri Dalam Negeri, dan Jaksa Agung mengeluarkan Keputusan terhadap JAI sebagai berikut

  1. Memberi peringatan dan memerintahkan untuk semua warga negara untuk tidak menceritakan, menafsirkan suatu agama di Indonesia yang menyimpang sesuai UU No 1 PNPS 2005 tentang pencegahan penodaan agama.
  2. Memberi peringatan dan memerintahkan bagi seluruh penganut, pengurus Jemaah Ahmadiyah Indonesia (JAI) sepanjang menganut agama Islam agar menghentikan semua kegiatan yang tidak sesuai dengan penafsiran agama Islam pada umumnya, seperti pengakuan adanya Nabi setelah Nabi Muhammad SAW.
  3. Memberi peringatan dan memerintahkan kepada anggota atau pengurus JAI yang tidak mengindahkan peringatan tersebut dapat dikenai sanksi seusai peraturan perundangan.
  4. Memberi peringatan dan memerintahkan semua warga negara menjaga dan memelihara kehidupan umat beragama dan tidak melakukan tindakan yang melanggar hukum terhadap penganut JAI.
  5. Memberi peringatan dan memerintahkan kepada warga yang tisak mengindahkan peringatan dan perintah dapai dikenai sanksi sesuai perundangan yang berlaku.
  6. Memerintahan setiap pemerintah daerah agar melakukan pembinaan terhadap keputusan ini.

Harapan Baru Ummat Beragama

Dari 6 point penting SKB tersebut telah memberi warna tersendiri bagi ummat beragama di Indonesia. Ada beberapa hal yang dapat dipetik dari SKB tersebut, antara lain: pertama, pemeluk ummat agama manapun di Indonesia (sekarang ini) tidak boleh sembarangan melakukan interpretasi terhadap sebuah teks ayat atau doktrin agama apalagi melakukan praktek keagamaan yang menyimpang dari ajaran agamanya. Kedua, beragama merupakan pengalaman pribadi (privat) dalam bentuk keyakinan (aqidah), ritual atau praktek kegamaan antara satu orang dengan yang lain pasti berbeda. Namun demikian, beragama juga tidak boleh keluar dari koridor, aturan nilai dan prinsip sebuah ajaran agama. Ketiga, perlu ada ketegasan dari tokoh agama (baca: ulama) tentang perinsip ajaran agama, misalnya dalam persoalan meyakini khootimul anbiyaa, sehingga tidak ada lagi interpretasi baru tentang kaykinan Nabi terkahir. Kelima, pembekuan, peringatan, atau pun pelarangan akan berimplikasi pada sikap pro - kontra masyarakat terhadap keberadaan JAI, karenanya perlu kesiapan mental dari berbagai pihak untuk menyikapinya secara positif. Bagi yang pro pembekuan JAI, jangan menjadikan JAI sebagai kelompok yang harus dijauhi, diperangi, atau dimarjinalkan dari komunitas muslimin, tapi bagaimana kita lebih bersikap bijak dengan mengajak mereka ke jalan yang benar. Sebaliknya bagi kelompok JAI atau kelompok lain yang tidak setuju dengan dibekukannya JAI harus introspeksi diri terhadap keyakinan yang selama ini mereka anut. Dengan sikap demikian tentu saja harapan akan terwujudnya toleransi intern ummat beragama (Islam) akan terwujud dengan tanpa didasari bentuk reaksi kekerasan, anarkhisme, brutalisme yang jelas-jelas sudah keluar dari visi Islam itu sendiri, yakni sebuah nilai keberagamaan yang lebih banyak mengindahkan nilai-nilai kepasrahan, kepatuhan, kedamaian, kerahmatan, kasih sayang, kepada seluruh alam. []