Minggu, Juni 22, 2008

MELURUSKAN TANGGUNG JAWAB

Menurut al-Qabisi, dalam buku Sejarah Pemikiran Tokoh Pendidikan dijelaskan bahwa "mendidik anak adalah kewajiban agama". Bagi orang tua yang mampu hendaknya mendidik anaknya sendiri, dan seandainya tidak ada kemampuan untuk mendidiknya, hendaknya mendelegasikan kepada orang alim dan mengupahnya. Kewajiban mendidik anak merupakan proses awal sebagai upaya peningkatan kualitas ummat. Tanpa melalui proses awal itu, sangat tidak mungkin upaya peningkatan kualitas bisa terealisasi. Karena pada dasarnya anak adalah makhluk yang sedang berada dalam proses perkembangan dan pertumbuhan menurut fitrahnya masing-masing. Mereka memerlukan bimbingan dan pengarahan yang konsisten menuju ke arah titik optimal kemampuan fitrah[1]nya. (lihat Suwito & Fauzan: 2003: 99) Dalam konteks ini, al-Qabisi berpendapat bahwa jalur pendidikan anak merupakan faktor signifikan yang menjadi penentu keberhasilan proses pendidikan.

Pendidikan anak meliputi banyak hal seperti perhatian, arahan, kasih sayang, bimbingan, pemenuhan kebutuhan –secara fisik maupun mental--, pengajaran ilmu pengetahuan, berlaku adil dan hal lain yang sangat dibutuhkan seorang anak. Oleh karenanya, pendidikan anak tidak terbatas pada pelaksanaan shalat dan komitemn terhadap hukum-hukum agama saja. Pendidikan anak juga tidak terbatas pada ambisi meraih tingkat pendidikan dan penghargaan tertinggi bagi anak atau penyediaan masa depan ekonomi dan meterinya. Tetapi bagaimana proses pendidikan anak menggabungkan antara kedua cara tersebut tanpa melebihkan satu dari lainnya, sehingga kedua orang tua tidak menjadi perwujudan dari orang-orang yang merugi dunia dan akhiratnya. (Husain Mazhahiri: 1992: 12).

Penerapan pendidikan terhadap anak yang masih dalam kandungan sebagaimana dijelaskan di muka hanya terbatas pada hal-hal sikap preventif orang tua dalam menjaga anak hingga proses kelahiran. Bentuk pendidikan yang bisa diberikan antara lain, pemberian gizi melalui makanan yang sang ibu, komunikasi awal, perkenalan awal tentang lafadz-lafadz al-Qur'an, sentuhan kedua orang tua, penunjukkan sikap sabar kedua orang tua, sikap santun terhadap sesama serta sikap-sikap lain yang bisa mengarah kepada pembentukan sikap baik bagi sang janin. Dengan demikian seorang ibu bagi anak-anak yang dikandungnya, secara langsung memberikan kontribusi menentukan, berkenaan dengan dimensi spiritual, intelektualitas, dan moralitas anak. Sementara ayah, bagi anak yang dikandung istrinya, memiliki peranan dengan hal-hal yang bersifat materiil, misalnya gizi dan kecukupan ekonomi keluarga. (Suharsono: 2000: 103)

Berbeda ketika anak sudah keluar dari dalam perut sanga ibu, proses pendidikan biasanya diawali dengan pengenalan kalimat-kalimat toyyibah, seperti adzan (di telinga kanan) dan iqomat (ditelinga kiri). lebih diarahkan pada penunjukan sikap kasih sayang –terutama—seorang ibu, tanggung jawab, rasa aman, kebersihan dan kenyamanan. Tahapan berikutnya, anak harus mulai dibiasakan bersikap baik terhadap kedua orang tua, saudara, kakek, nenek, teman dan orang-orang yang ada di sekitarnya, bertanggung jawab, dan displin dalam segala hal. Ajarilah mereka baca tulis al-Qur'an, dan shalat.

Dengan demikian pendidikan anak secara tidak langsung menjadi tanggung jawab penuh kedua orang tua. Baik buruknya seorang anak tergantung bagaimana proses "cetakan" anak dibuat kedua orang tua. Nabi Muhammad Saw bersabda yang artinya: "Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah. Bapak Ibunyalah yang membuat anak mereka Yahudi, Nasrani, dan Majusi"

Hadis tersebut menjelaskan bahwa sejak kelahirannya manusia telah diformat oleh Allah menjadi makhluk yang baik, patuh, taat beribadah, namun karena proses pendidikan dan budaya yang diberikan orang tualah yang pada akhirnya menjerumuskan menjadi seorang yang salah langkah.

Islam memerintahkan orang tua untuk mendidik anak dan memikulkan tanggung jawab itu di pundaknya. Firman Allah Swt.

Artinya:

"Wahai orang-orang yang beriman, jagalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan bebatuan.." (At-Tahrim: 66: 6)

Api neraka bisa saja tafsirkan sebagai bentuk balasan atau hukuman kepada manusia yang melanggar aturan agama. Oleh karenanya, agar keluarga dan anak kita tidak memperoleh hukuman tentu saja orang tua yang bertanggung jawab terhadap proses pembentukan watak anak harus memberikan pendidikan yang sesuai dengan aturan main agama, sehingga ketika anak tumbuh dan berkembang tidak lagi buta terhadap aturan yang digariskan agama.

Rasulullah telah meletakkan kaidah-kaidah dasar yang intinya adalah bahwa anak akan tumbuh sesuai dengan agama kedua orang tuanya. Merekalah orang yang secara kuat mempengaruhi anak-anaknya. Hal itu diisyaratkan oleh Imam al-Ghazali, beliau mengatakan "anak kecil siap menerima segala ukiran dan akan cenderung pada setiap yang diucapkan". Karenanya, jika kita mengajari dan membiasakan anak-anak kita dengan kebaikan maka mereka akan tumbuh dan berkembang dalam kebaikan. Dan jika kita mengabaikan mereka sebagaimana binatang, mereka akan celaka dan binasa, dan kita turut celaka bersama mereka.(Lihaht Muhammad Rasyid Dimas: 2001: 5)

Masa kanak-kanak adalah fase pertumbuhan yang paling penting dan paling besar pengaruhnya terhadap jiwa. Sebab fase tersebut merupakan masa pembentukan kepribadian.

Mengacu pada argumentasi naql (al-Qur'an dan Hadis) tersebut, kelihatannya menjadi keputusan final kalau pendidikan anak sebagai tanggung mutlak orang tua. Namun demikian, bagaimana dengan orang tua yang karena kesibukannya tidak dapat mendidik anak-anaknya? Mungkin pengertian pendidikan anak tidak saklek seperti itu manakala kita melihat kewajiban-kewajiban lain yang harus ditempuh orang tua dalam melakukan proses pendidikan anak, antara lain seperti mencari nafkah, bekerja, dan beraktifitas lain demi eksistensi diri dan keluarganya di bumi ini.

Merujuk pada argumentasi tersebut, kelihatannya proses pendidikan anak tidak saja harus diberikan kedua orang tua, tapi bisa saja oleh keluarganya yang lain, guru, (kemungkinan) pembantu, dan orang yang dipercaya orang tua untuk mendidik anaknya. Namun demikian, tanggung jawab pendidikan seorang anak masih tetap berada dalam pengawasan kedua orang tua.

Oleh karena itu, bagi kedua orang tua yang sibuk mempunyai kewajiban mencarikan lembaga pendidikan atau tenaga pengajar yang sanggup mendidik anak-anaknya sesuai ajaran al-Qur'an dan hadis. Artinya, tanggung jawab pendidikan anak tidak lagi harus dipahami sebagai bentuk interaksi langsung kedua orang tua dalam memberikan pengajaran al-Qur'an (agama) misalnya, tapi penulis kira bisa juga dengan menyediakan fasilitas (seperti penyediaan guru, lembaga) dalam rangka proses pendidikan berlangsung []



[1]Fitrah atau dalam psikologi disebut potensialitas adalah kemampuan dasar yang secara otomatis dapat berkembang (prepotence reflexes). Dalam Islam, fitrah secara etimologis mengandung arti “kejadian”, sehingga fitrah mengandung arti “kejadian” yang berisi potensi dasar beragama yang benar dan lurus. Hal ini sesuai dengan sabda Rasul sendiri yang artinya “tiap-tiap anak dilahirkan dengan fitrah, maka ibu bapaknyalah yang menjadikan dia Yahudi, Nasrani, atau Majusi”. Hadis tersebut menunjukan bahwa, fitrah merupakan potensi dasar yang bisa berkembang sesuai dengan lingkungan yang mempengaruhinya, di samping faktor hereditas (keturunan) juga menentukan pertumbuhan dan perkembangan fitrah seseorang.

MERAIH CITA-CITA

Cita-cita terkadang sering dijadikan motivasi seorang anak belajar lebih giat, bahkan tidak sedikit orang tuanya membimbing dan mengarahkan anaknya ke lembaga pendidikan yang bonafit demi cita-cita tersebut. Cita-cita dalam bahasa pendidikan disebut juga tujuan jangka panjang pendidikan. Cita-cita atau tujuan itulah yang menjadi arah program pembelajaran dilaksanakan. Semuanya harus bermuara pada satu arah tujuan yang diinginkan. Kalau saja ada seorang anak yang tidak meraih cita-citanya dengan baik, boleh jadi arah program pendidikan yang dikembangkan tidak sesuai dengan apa yang direncanakan.

Untuk meraih cita-cita atau tujuan pendidikan ada banyak faktor yang harus diperhatikan, yaitu: pertama, orang tua sedini mungkin harus mengenali potensi (fitrah) yang dimiliki seorang anak dan mengembangkannya melalui jalur pembelajaran yang efektif. Kedua, berilah pendidikan anak sesuai usia, jangan pernah memberi materi pembelajaran yang tidak sesuai dengan usianya. Ketiga, biasakan anak berlaku disiplin dan bertanggung jawab. Karena dengan biasa disiplin biasanya akan terhindar dari kemalasan, berbuat sesuai dengan program. Sementara bertanggung jawab artinya siap menerima resiko, memberikan alasan dan memberi solusi manakala ada masalah.

Ketiga langkah tersebut tentu saja harus terus menerus dibiasakan sesuai sifat pendidikan itu sendiri, berlangsung secara kontinue, bertahap, dibiasakan, dan tidak kenal menyerah. Sifat-sifat itulah yang seharusnya dimiliki pendidik. Dalam UU No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen disebutkan bahwa ada empat kompetensi yang harus dimiliki seorang pendidikan, yaitu (1) kompetensi pedagogik berkaitan dengan kemampuan seorang guru dalam mengajar (transfer of knowledge), mendidik (transfer of value), memilih metode, berkaitan dengan kehebatan dalam memilih ketrampilan mengajar (teaching skill). (2) Kompetensi professional, berkaitan dengan kinerja dan tanggung jawab pendidik dalam proses pembelajaran. Mereka yang sudah berstatus “pendidik” sudah seharusnya memiliki komitmen kuat untuk menerima dan melaksanakannya tugasnya dengan baik. (3) kompetensi sosial, berkaitan dengan kemampuan komunikasi pendidik dengan murid-murid, orang tua, masyarakat dan orang lain. Seorang pendidik harus memiliki kemampuan komunikasi yang baik, jelas, dan tidak membingungkan. Dan (4) komptensi kepribadian, berkaitan karakteristik pendidik yang meliputi kejujuran, performance (penampilan), pemaaf, dan sifat terpuji lain yang harus dimiliki pendidik.

Penulis sadar betul kalau tugas yang diemban para guru TK/TPA di manapun sangat, tidak mudah bagi mereka mengenali, mangajari, bahkan mendidik anak-anak yang multitelenta, multiminat, dan multibakat. Dengan penuh kesabaran mereka membiasakan anak-anak berbuat baik, berucap salam di saat datang dan pulang, bertutur kata yang baik, dengan tekunnya juga mereka mengajari anak mengenal hurup latin/hijiyyah, bernyayi, dan lain sebagainya. Tapa memiliki keempat kompetensi tersebut sangat sulit bagi mereka mengarahkan anak-anak meraih cita-cita yang diinginkan.

Oleh karena itu, patut diucapkan pujian dan rasa terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada para guru TK/TPA oleh para orang tua yang sudah menitipkan anak-anaknya untuk dibimbing dan diarahkan dengan sebaik mungkin sehingga dapat melangkah ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi, yakni Sedolah Dasar (SD/MI)[]