Senin, Mei 19, 2008

Kebebasan & Tanggung Jawab Pendidikan

Kebebasan
Sebelum mengurai lebih lanjut tentang pengertian kebebasan, terlebih dahulu diungkap satu pertanyaan apakah manusia memiliki kebebasan secara penuh atau sebaliknya. Di sini ada dua kelompok besar yang berpendapat, 1) manusia memiliki kebebasan, kemerdekaan berbuat apa saja sesuai dengan kemauannya sendiri, 2) manusia sebenarnya tidak memiliki kebebasan sama sekali untuk melakukan kemauannya. Oleh karenanya, bagi kelompok ini tidak penting membahas apa itu arti kebebasan, baginya kebebasan mustahil ada. Dalam konteks ini, penulis hanya akan menguraikan arti kebebasan yang dimaksud oleh kelompok pertama.

Kebebasan secara etimologis berasal dari kata “bebas” berarti “lepas, merdeka, tidak terikat, tidak belenggu, dan tidak terkungkung”; yang kemudian diberi imbuhan “ke” dan “an” menjadi “kebebasan” yang berarti sesuatu yang terlepas dari berbagai kungkungan dan ketidakberdayaan. Karenanya, manusia yang disebut bebas apabila: 1) dapat menentukan sendiri tujuan-tujuannya, 2) ada kemungkinan untuk memilih, dan 3) tidak ada paksaan untuk berbuat.

Tanggung jawab dan Hati nurani
Tanggung jawab adalah sikap yang ditunjukan seseorang manakala seseorang diberikan kebebasan untuk melakukan suatu perbuatan yang ditunjukan melalui sikap disiplin, jujur, profesional dan sportifitas. Dengan kata lain tanggung jawab merupakan implikasi dari adanya kebebasan yang telah diberikan. Tidak mungkin ada kebebasan tanpa ada tanggung jawab.

Sementara hati nurani atau intuisi sering disebut sebagai “bisikan” sanubari yang lebih banyak mengarahkan manusia kepada kebaikan. Karena sifatnya yang demikian tersebut, maka hati nurani harus berperan sebagai dasar pertimbangan dalam mengarahkan kemana arah kebebasan manusia tersebut.

Kebebasan dan Tanggung Jawab dalam Pendidikan

Dalam konteks pendidikan yang lebih luas, kebebasan dan tanggung jawab sangat dibutuhkan dalam pendidikan. Kebebasan dimaksudkan untuk memberi ruang gerak kreatifitas berfikir para pengelola (user) dalam menjalankan proses pendidikan yang lebih baik. Hal ini tentu akan sangat terkait dengan inovasi dan kreatifitas manajer (Kepala Sekolah) dalam menentukan kebijakan pendidikan. Bagi pendidik (guru, mu'allim, mu'addib, ustadz, dsb) kebebasan juga diperlukan dalam rangka menumbuhkan kreatifitas berfikir, inovasi dalam memilih metode pengajaran, serta pilihan dalam memotivasi anak didik. Lain halnya dengan anak didik, kebebasan juga diperlukan untuk mengasah keterampilan berfikir, sehingga pengajaran sebagai bagian dari pendidikan tidak lagi menjadi "milik" guru tapi juga miliki bersama; siswa boleh berkreasi apa saja, berpendapat, mengeluarkan unek-uneknya, sekaligus memberi solusi konstruktif atas permasalahan pendidikan yang dihadapi.

Namun demikian, kebebasan apapun termasuk dalam konteks pendidikan bukan sebuah kebebasan yang tanpa batas. Kebebasan dalam pendidikan harus mempertimbangkan nilai (baca: etika, akhlak) yang bersumber dari tradisi masyarakat (adat), kitab suci (wahyu), dan akal sehat (rasio). Kondisi inilah yang pada akhirnya membawa sebuah bentuk pertanggungjawaban dari setiap pelaku pendidikan. Baik Kepala Sekolah, guru maupun siswa memiliki tanggung jawab yang sama dalam menyukseskan pendidikan yang lebih baik. []



Membedakan Akal dan Wahyu

Akal dan Wahyu

Akal berasal dari kata Arab al-‘aql, yang mengandung arti mengikat, menahan, memahami, dan bijaksana. Dalam pemahaman para ulama, ia bukanlah daya yang dimiliki oleh otak, tapi merupakan daya jiwa (roh) yang berfungsi memahami atau mengetahui nilai-nilai etis (baik buruk) dan epistemologi (benar salah) serta berfungsi berdasarkan pemahaman itu mengikat, menahan, atau mengendalikan hawa nafsu sedemikian rupa, sehingga berhasil mengangkat manusia menjadi makhluk yang bijaksana.

Akal itu ada secara potensial pada setiap bayi manusia tapi tidak ada pada binatang. Akal itulah yang menyebabkan manusia jauh lebih unggul dari binatang, dan karena memiliki akal itulah maka manusia diberi Tuhan tanggung jawab besar untuk menegakkan kebenaran dan kebaikan di permukaan bumi ini. Akal yang ada secara potensial pada setiap bayi manusia itulah yang harus diaktualkan semaksimal mungkin, agar ia dapat menjalankan fungsinya dengan baik. Dengan demikian, manusia yang menjadi pemilik akal tersebut beroleh pujian sebagai khalifah Tuhan seperti yang diharapkan. Bila akal itu tidak berfungsi dengan baik, tapi terseret oleh dorongan hawa nafsu, maka manusia pemiliknya jatuh menyerupai binatang, bahkan lebih sesat dan berbahaya dari binatang.

Dalam pemikiran para filosof muslim, dikatakan bahwa wujud rohani (imateri) yang selamanya terpisah dari, atau tidak berada dalam materi (fisik), disebut akal. Dengan demikian Tuhan dan para malaikat-Nya disebut akal-akal, yang selamanya aktual dan katif. Tuhan adalah Akal Maha sempurna, yang maha sempurna pengetahuan-Nya, yang mengetahui diri-Nya dan segenap alam; bahkan pengetahuan-Nya menjadi sebab bagi terciptanya segenap alam itu. Para malaikat merupakan akal-akal yang berada tingkat kesempurnaannya. Yang paling dekat dengan Tuhan berarti paling mendekati kesempurnaan Tuhan.

Wujud rohani yang berada dalam jasad disebut jiwa. Ada jiwa tumbuh-tumbuhan, ada jiwa binatang, dan ada pula jiwa manusia. Dari ketiga macam jiwa itu, hanya pada jiwa manusia. Baru setelah dibantu oleh kegiatan persepsi inderawi, lambat laun mengaktual akal praktis, yang dapat membedakan nilai-nilai yang baik dari yang buruk serta dapat mengendalikan hawa nafsu badan, dan selanjutnya mengaktual akal teritis, yang mampu menangkap makna-makna umum (esensial) dari aneka ragam realitas empiris. Bila telah banyak menguasai makna-makna umum sebagai hasil pengamatan dan pemikiran terhadap dunia empiris itu, maka terbuka pulalah kemungkinan mengaktualnya akal mustafad (perolehan), yakni akal yang mampu berhubungan dengan akal aktif Jibril, dan menerima darinya ide-ide tentang wujud-wujud rohani, termasuk tentang Tuhan. Mereka yang memperoleh akal mustafad melalui studi empiris yang keras dan proses terbiasa memikirkan hal-hal yang abstrak, disebut filosof, yang dianugerahi akal mustafad dan menerima pedoman-pedoman kehidupan bagi masyarakat manusia dari Tuhan melalui akal aktif Jibril. Semakin sempurna aktualisasi akal jiwa manusia semakin sempurna pula kenikmatan atau kebahagiaan yang dirasakan oleh manusia itu. Kenikmatan hakiki itu, menurut para filosof muslim, adalah kenikmatan akli, yang bersifat abadi, bukan kenikmatan jasadi, karena bersifat temporal.

Dalam pandangan para sufi, fungsi akal itu terbatas pada memahami kenyataan- kenyataan empiris. Pengetahuan akli memang lebih tinggi dari pengetahuan inderawi, tapi akal tidak mampu memperoleh pengetahuan hakiki tentang Tuhan dan kenyataan- kenyataan metafisik dapat diperoleh manusia, tidak dengan dedukasi atau induksi akal, tapi melalui penyaksian hati nurani yang suci. Bila hati nurani suci, dan bila tirai yang menutupi kenyataan metafisik dibukakan Tuhan, barulah manusia memperoleh pengetahuan hakiki. Yang menerima pengetahuan hakiki itu bukanlah filosof yang tajam akalnya, tapi para nabi dan para sufi, yang suci hati nuraninya (hati nurani nbi lebih tajam dari hati nurani sufi).

Wahyu

Wahyu makna aslinya adalah isyarat yang cepat atau bisikan yang halus. Dalam istilah Syara wahyu berarti firman (petunjuk) Allah yang disampaikan kepada anbinya’ (para nabi) dan awliya’ (para wali, yaitu hamba Allah yang tulus yang tidak diangkat sebagai nabi).

Dalam al-Qur’an tercantum ada 15 bentuk kata yang berasal dari akar kata wahyu yaitu awha (Ibrahim: 13; an-Nahl: 68; Bani Isra’il: 39; Maryam: 11; Fussilat: 12; an-Najm: 10; az-Zilzal: 5), awhatu (al-Ma’idah: 111), awhaina (an-Nisa: 163, al-A’raf: 117, 160; Yunus: 2, 87; Yusuf: 3,15; ar-Ra’ad: 30; an-Nahl: 123; Bani Israil: 73, 86; Ta-Ha: 38, 77; al-Anbiya: 73; al-Mu’minun: 27; asy-Syara: 52, 63; al-Qisas: 7; Fathir: 31; asy-Syuara: 7, 13, 52), nuhi (Yusuf: 109; an-Nahl: 43; al-Anbiya: 7, 25), nuhihi Ali ’Imran: 44; Yusuf: 102), nuhiha (Hud: 49), layuhuna (al-An’am: 1, 21), yuhi (al-An’am: 112; al-Anfal: 12; Saba’: 50; Fussilat: 3), fayuhiya (asy-Syura: 51), uhiya (al-An’am: 19, 93, 106, 145; Hud: 36; al-Kahfi: 27; Ta-Ha: 48; al-Ankabut: 45; az-Zumar: 65; az-Zukhruf: 43; al-Jin: 1), yuha (al-An’am: 39), yuha (al-An’am: 50: al-A’raf: 203; Yunus: 15, 109; Hud: 12; al-Kahfi: 110; Ta-Ha: 13, 38; al-Anbiya: 108; al-Ahzab: 2; Sad: 70; Fussilat: 6; al-Ahqaf: 9; an-Jajm: 4), wahy un/in/an (al-Anbiya: 45; asy-Syura: 51; an-Najm: 4), wahyina (Hud: 37; al-Mu’minun: 27), dan wahyuhu (Ta-Ha: 114). Ternayata istilah wahyu (dalam berbagai bentuk katanya itu) digunakan secara universal (umum), artinya wahyu itu disampaikan (dianugerahkan) kepada seluruh makhluk-Nya, baik benda yang tak bernyawa, seperti kepada langit dan bumi (Fussilat: 11, 12, az-Zilzal: 15); binatang, seperti kepada lebah (an-Nahl: 68, 69); kepada para malaikat (al-Anfal: 12); kepada manusia biasa, selain nabi dan rasul, seperti kepada ibu Nabi Musa (al-Qasas: 7), kepada para murid Nabi Isa (al-Maidah: 111); dan kepada para nabi (akan diuraikan berikutnya).

Wahyu Tuhan yang dianugerahkan kepada manusia itu melalui tiga cara, yang sekaligus menunjukan tingkat (kualitas) wahyu itu sendiri, sebagai dijelaskan surat asy-Syura: 51 (”Dan tidak terjadi Tuhan berbicara kepada manusia, kecuali dengan wahyu, atau dari balik tirai, atau dengan mengutus seorang utusan, dan mewahyukan dengan izin-Nya apa yang ia kehendaki”).

Cara yang pertama yang disebut wahyu (dalam arti asalnya, yaitu dengan mengilhamkan suatu pengertian dalam hati, atau isyarat yang cepat, atau membisiskkan dalam hati). Jenis wahyu yang terjadi dengan cara ini disebut wahyu khafi (walyu batin), dan bias dialami oleh para nabi dan bukan nabi.

Cara yang kedua ialah yang disebut dari balik tirai (min wara’ hijab). Termasuk dalam wahyu dengan cara ini adalah ru’yat (impian), kasyf (vision) dan Ilham (mendengar suara atau mengucapkan kata-kata dalam keadaan perpindahan untuk sementara waktu ke alam rohani, yaitu dalam keadaan antara tidur dan jaga). Wahyu jenis ini juga bisa di alami oleh para nabi dan bukan nabi, dan merupakan bentuk yang paling sederhana.

Cara yang ketiga ialah wahyu yang di sampaikan oleh Malaikat Jibril dalam bentuk kata-kata. Wahyu jenis ini merupakan wahyu yang paling yakin dan paling terang, yang di sebut wahyu matluww (wahyu yang dibaca), dan khusus dianugerahkan kepada para nabi. Kitab-kitab suci merupakan catatan resmi dari wahyu tertinggi ini; dan biasanya, secara teknis, istilah wahyu diterapkan terhadap jenis wahyu ini, untuk membedakannya dari jenis wahyu yang lebih rendah.

Diturunkannya wahyu kepada manusia, yang terdiri dari berbagai jenis itu, adalah untuk menolong manusia itu sendiri agar dapat mencapai tujuan hidupnya (sebagai khalifah Allah di muka bumi), yaitu melakukan alam dan melakukan diri sendiri. Manusia dapat mencapai kesempurnaan dalam segala bidang atas usahanya sendiri, ia dapat menaklukan dan mengendalikan alam dengan ilmu pengetahuan dan teknologinya serta kekuatan yang diberikan kepada. Tetapi ia sangat lemah dalam menghadapi dirinya sendiri. Kemampuan untuk mengendalikan diri itu hanya dapat diperoleh dengan cara mendekatkan diri kepada Allah; dalam rangka penyempurnaan diri inilah wahyu sangat diperlukan oleh manusia.

Wahyu yang diturunkan kepada manusia itu bukan saja bersifat universal (dalam arti bahwa wahyu jenis rendah berupa ilham, rukyat dan kasyaf merupakan pengalaman universal manusia, dan wahyu jenis tinggi, yang disampaikan melalui Malaikat Jibril, dianugerahkan kepada setiap progresif (berkembang), yang mencapai kesempurnaannya kepada al-Qur’an yang diturunkan kepada Nabi Muhammad sebagai khatam an-nabiyyin (nabi terakhir).

Dengan turunnya al-Qur’an, yang berfungsi sebagai penyempurna, pembuat terang, penjaga dan hakim bagi kitab-kitab sebelumnya (al-Maidah: 48; an-Nahl: 63, 64), maka telah berakhirlah penurunan wahyu melalui Malaikat Jibril, sekaligus telah tertutup pintu wahyu jenis tertinggi itu. Meskipun demikian, karunia rohani dari Tuhan masih tetap diturunkan kepada manusia sampai berakhirnya kehidupan di dunia ini, yaitu melalui wahyu jenis lainnya (ilham, rukyat atau kasyaf). []