Rabu, Mei 28, 2008

Berkaca dari Problem Klise Pendidikan Islam

Di kalangan umat Islam, masalah pendidikan mendapat perhatian khusus, karena berkembangnya Islam sendiri tidak lepas dari peran pendidikan yang begitu besar. Oleh karena itu walaupun perkembangan politik suatu negara (Islam) sedang tidak menentu, atau singkatnya adanya perkembangan yang menutup ruang partisipasi masyarakat dalam menentukan arah negaranya, maka bagi dunia pendidikan tetap saja terbuka. Hal ini bisa dilihat dari antusiasme masyarakat terhadap pentingnya pendidikan yang mendorong munculnya berbagai lembaga-lembaga pendidikan yang menawarkan berbagai jenjang. Ini merupakan pandangan profetis masyarakat khususnya kaum muslimin dalam merencanakan masa depannya menjadi lebih baik.
Pandangan positif masyarakat tersebut di atas akan menjadi sia-sia jika tanpa didukung oleh pembaharuan di bidang pendidikan itu sendiri, dalam hal ini pendidikan Islam. Pendidikan Islam khususnya madrasah masih belum menunjukan perkembangan pembaharuan yang memuaskan. Madrasah ternyata masih kalah bersaing dengan sekolah-sekolah umum yang berada dalam naungan Departemen Pendidikan Nasional.
Sejalan dengan perkembangan Indonesia, madrasah sebagai lembaga pendidikan Islam juga terus berkembang namun perkembangan itu cukup eksklusif, di mana aksentuasi pada pengetahuan keagamaan (Islam) lebih diutamakan. Hal ini juga yang menyebabkan perkembangan madrasah hanya ada pada kantong-kantong masyarakat Islam. Ekspansi yang dilakukan pun hanya berkisar di daerah pedesaan sedangkan untuk di perkotaan sangat jarang. Oleh karena itu hingga saat ini keberadaan madrasah lebih banyak di pedesaan daripada di perkotaan. Dan hal ini juga yang memicu lambannya perkembangan madrasah, madrasah seakan jauh dari atmosfir pembaharuan sistem pendidikan, baik secara kelembagaan maupun sistem dari proses pembelajaran itu sendiri.
Pada tahun 1994, perkembangan madrasah mengalami suatu periode yang sangat penting, di mana pada tahun tersebut Departemen Agama, tempat di mana madrasah bernaung memberlakukan sebuah kurikulum baru yang selanjutnya disebut "kurikulum 1994". Pada kurikulum tersebut mensyaratkan agar madrasah melaksanakan sepenuhnya kurikulum sekolah-sekolah umum yang ada dalam naungan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan-sekarang Departemen Pendidikan Nasional. Hal ini tentunya sangat berbeda dengan kurikulum 1995, di mana kurikulum madrasah memuat 70% mata pelajaran umum dan 30% mata pelajaran agama Islam, maka pada kurikulum 1994 ini madrasah wajib melaksanakan 100% dari kurikulum yang dibebankan pada sekolah-sekolah umum. Sebagai konsekuensinya madrasah mesti menghapus 30% muatan pendidikan agama Islam dari kurikulumnya dan kedudukannya adalah setaraf dengan sekolah-sekolah umum lainnya yang berada dalam naungan Departemen Pendidikan Nasional. Hal ini telah ditegaskan dalam UU RI No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yaitu pada pasal 17 ayat 2 dan pasal 18 ayat 3, yaitu:[1] Pasal 17 ayat 2 " Pendidikan dasar berbentuk Sekolah Dasar (SD) dan Madrasah Ibtidaiyah (MI) atau bentuk lain yang sederajat serta Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Madrasah Tsanawiyah (MTs), atau bentuk lain yang sederajat". Sedangkan pasal 18 ayat 3 yaitu, "Pendidikan menengah berbentuk Sekolah Menegah Atas (SMA), Madrasah Aliyah (MA), Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), dan Madrasah Aliyah Kejuruan (MAK), atau bentuk lain yang sederajat."
Di samping konsekuensi di atas, eksistensi madrasah sebagai lembaga pendidikan Islam pun mulai dipertanyakan masyarakat. Madrasah yang pada awalnya diharapkan akan mampu memunculkan ahli-ahli agama dan para pemimpin Islam mulai diragukan, apakah dengan kondisi yang seperti itu masih bisa. Seperti yang kita ketahui bahwa paling tidak, ada tiga fungsi tradisional madrasah, yaitu; pertama, sebagai media penyampai pengetahuan agama (transfer of Islamic knowledge), kedua, sebagai media pemelihara tradisi Islam (maintenance of Islamic tradition) dan yang ketiga, sebagai media pencetak ulama (reproduction of ulama).[2]
Walupun mempunyai kedudukan yang setingkat dengan sekolah-sekolah umum, perjalanan madrasah tetap berbeda dengan sekolah-sekolah umum tersebut. Madrasah masih dianggap lembaga pendidikan "kelas dua", di mana ada pandangan "daripada tidak sekolah lebih baik masuk madrasah". Ironisnya pandangan ini muncul dari kalangan umat Islam sendiri. Namun apakah mereka patut disalahkan? Selama madrasah tidak mampu membenahi dirinya agar sesuai dengan tuntutan dan kebutuhan masyarakat, maka mereka tidak dapat disalahkan.
Perbedaan mencolok antara madrasah dan sekolah-sekolah umum selain dapat dilihat dari tradisi proses pembelajaran juga akses para alumni terhadap perguruan tinggi dan dunia kerja. Tradisi proses pembelajaran di madrasah yang lebih memperhatikan gaya-gaya tradisional di mana proses pembelajaran lebih didominasi oleh para pendidik atau guru, juga diwarnai dengan kualitas tenaga pengajar yang kurang memadai. Banyak tenaga pengajar yang mengajar tidak sesuai dengan keahlian yang dimilikinya.
Dilihat dari akses lulusan, ini sangat berbeda dengan lulusan dari sekolah-sekolah umum di mana mereka memiliki akses yang lebih terbuka untuk masuk ke perguruan-perguruan tinggi umum, sementara bagi lulusan madrasah, keterbukaan itu hanya ada pada perguruan-perguruan tinggi Islam. Dari segi akses ke lapangan kerja, tampaknya kalangan dunia usaha lebih mempercayai lulusan sekolah-sekolah umum daripada madrasah. Lulusan sekolah-sekolah umum lebih mampu bersaing dengan lulusan dari madrasah.[3] Ini merupakan permasalahan besar bagi para pemerhati dan para pengelola lembaga-lembaga pendidikan Islam khususnya. Mengapa hal ini bisa terjadi, padahal muatan pelajaran umum antara mdrasah dengan sekolah-sekolah umum adalah "sama", pada kasus ini sebenarnya madrasah masih memiliki keunggulan karena muatan pendidikan agama jelas lebih banyak daripada sekolah-sekolah umum, ini berarti pendidikan moral yang dikandung dalam pendidikan agama lebih banyak diberikan pada madrasah. Namun persoalan selanjutnya adalah kenapa dengan keunggulan tersebut madrasah masih kurang mampu bersaing dengan sekolah-sekolah umum.
Dari keterangan-keterangan di atas nampak adanya persoalan-persoalan mendasar yang dihadapi madrasah. Persoalan-persoalan tersebut mulai dari kurikulum, managemen, tenaga pengajar, proses pembelajaran, sarana prasaran, adanya persoalan atau konflik antara tradisi pemikiran dan pendidikan Islam dengan modernitas, adanya anggapan negatif masyarakat terhadap madrasah seperti yang disinggung di atas, persoalan kelembagaan hingga pada persoalan legalitas hukum keberadaan madrasah. Dalam pembahasaan ini, persoalan-persoalan tersebut menjadi ladang pembaruan pendidikan Islam.
Persoalan pertama, kurikulum bagi suatu madrasah bukanlah hal yang bisa diremehkan begitu saja, karena pada hakekatnya kurikulum adalah "ruh" dari kegiatan pendidikan itu sendiri. Kurikulum merupakan alat yang sangat penting dalam keberhasilan sutau pendidikan, tanpa adanya kurikulum yang tepat maka akan sulit untuk mencapai tujuan ataupun sasaran yang telah digariskan.[4] Kurikulum di madrasah yang sarat materi (overloaded) dan bahkan tidak memiliki keterkaitan di antara mata pelajaran-mata pelajaran yang ada, lagi pula kurikulum tersebut lebih ditekankan pada ranah kognitif sementara ranah afektif dan psikomotorik menjadi terabaikan, kondisi ini jelas merupakan area pemabaharuan yang mesti cepat dilakukan. Belum lagi persoalan kesesuaian antara kebutuhan user atau masyarakat dengan konsep kurikulum yang ada sekarang ini masih belum mencerminkan sebuah
Persoalan kedua, adalah managemen. Seperti diketahui bahwa managemen adalah "ruh" bagi jalannya suatu roda organisasi, termasuk juga madrasah. Persoalannya muncul ketika madrasah didirikan oleh perorangan dan yayasan keagamaan, hal ini karena pihak pendiri berkedudukan sebagai "pemilik" di mana segala kegiatan yang dilakukan harus dengan seizinnya.
Pada kasus ini, muatan intervensi khususnya dari orang-orang yang merasa lebih berjasa terhadap pendirian madrasah sulit dihindari, apalagi jika lahan yang digunakan untuk madrasah tersebut adalah lahan miliknya pribadi. Hal ini mengakibatkan "rancuh"nya suatu managemen yang diterapkan pada madrasah tersebut. Padahal managemen menduduki posisi vital terhadap eksistensi suatu lembaga termasuk lembaga pendidikan Islam dalam hal ini madrasah. Sulit dibayangkan suatu madrasah akan maju, berkembang, menjadi center of excellence dan mampu berkompetisi dengan lembaga-lembaga pendidikan lainnya jika tidak memiliki managemen pendidikan yang tangguh.
Persoalan ketiga adalah tenaga pengajar atau pendidik atau sering juga disebut guru. Keberadaannya merupakan komponen penting dalam pendidikan, karena itu guru adalah garda terdepan dalam dunia pendidikan. Ia merupakan jabatan profesi yang mengabdikan jasanya dalam dunia pendidikan. Ia juga merupakan motor penggerak roda pendidikan. Seorang tenaga pengajar atau guru diharapkan mampu menciptakan situasi pembelajaran yang kondusif sehingga mampu mengembangkan daya kognitif, afektif dan psikomotorik peserta didik.[5]
Pada madrasah banyak sekali guru yang mengajar bukan pada bidang keahliannya. Di sini aspek profesionalisme guru menjadi terabaikan. Mungkin hanya pada madrasah-madrasah yang sudah maju saja yang sudah mensyaratkan agar guru yang mengajar haruslah profesional dalam bidangnya.
Persoalan keempat adalah menyangkut proses pembelajaran itu sendiri. Proses pembelajaran di sini merupakan interaksi antara komponen-komponen pembelajaran yang di dalamnya terdapat suatu hubungan yang saling mendukung. Komponen-komponen tersebut paling tidak meliputi guru, media, ruang dan peserta didik itu sendiri. Komponen-komponen tersebut merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dalam suatu proses pembelajaran. Jika salah satunya tidak ada atau katakanlah tidak dapat berfungsi maksimal, maka dapat ditebak proses pembelajaran tidak akan berjalan maksimal.
Pada madrasah yang terjadi adalah proses pembelajaran di man guru menjadi faktor sentral, ia menjadi sumber utama pembelajaran. Bahkan proses pembelajaran menjadi superfisialisasi proses pendidikan, di mana dari luar tampak serius akan tetapi sebenarnya tidak memiliki bobot seperti yang diharapkan. Dalam hal ini telah terjadi banyak kepura-puraan baik yang dilakukan oleh pendidik maupun oleh peserta didik itu sendiri. Untuk itu aksentuasi proses pembelajaran pada peserta didik mesti ditegaskan kembali.
Persoalan kelima adalah sarana prasarana. Persoalan ini terutama menyangkut "tempat" di mana proses pendidikan itu diselenggarakan. Kita sering mendengar banyaknya tempat-tempat belajar termasuk juga madrasah yang keberadaannya sudah tidak memungkinkan lagi untuk menyelenggarakan kegiatan-kegiatan pendidikan. Dalam hal ini banyak sekali sarana dan prasarana pada madrasah sudah tidak memadai.
Kondisi bangunan yang kurang layak bagi proses pendidikan nampaknya sudah menjadi pemandangan bagi madrasah, biasanya mereka masih bisa menghibur diri dengan mengatakan yang penting adalah kualitas proses pembelajarannya. Kalau diamati secara lebih cermat bagaimana proses pendidikan mau berkualitas jika sarana dan prasarananya tidak mendukung.
Oleh karena itu berkaitan dengan sarana dan prsarana pendidikan adalah bagaimana menjadikan peserta didik "betah" di madrasah, menjadikan madrasah rumah keduanya pendek kata menjadikan madrasah sebagai tempat yang aman dan nyaman. Sehingga hal ini akan membuat peserta didik senang berlama-lama berada di madrasah.
Persoalan keenam adalah adanya persoalan atau konflik antara tradisi pemikiran dan pendidikan Islam dengan modernitas, ini bermula dari pandangan bahwa modern sama dengan Barat. Barat sudah terlanjur di cap negatif, adanya pergaulan bebas, sex bebas dan perilaku-perilaku yang tidak sesuai dengan Islam dianggap datang dari Barat. Untuk itu hal-hal yang berbau Barat ditolak. Pandangan ini sebenarnya telah ada sejak zaman penjajahan Belanda, dan Belanda sendiri ada pada golongan Barat.
Ciri-ciri modernitas yang sering tidak cocok yang sering tidak cocok dengan pemikiran pendidikan Islam antara lain;[6] paradigma modernitas yang bertolak pada rasionalitas, individualitas, kajian-kajian atau inquery scientific yaitu penelitian kajian ilmiah yang lebih menekankan pada lapangan kerja setelah peserta didik menyelesaikan masa pendidikannya. Ini sangat berbeda sekali dengan tradisi Isalm, di mana pekerjaan bukanlah merupakan hal yang penting, karena yang terpenting adalah proses mencari ilmunya, sedangkan persoalan pekerjaan adalah persoalan kemudian.
Persoalan ketujuh adalah adanya anggapan negatif sebagian masyarakat. Anggapan tersebut bermula dari kurang mampunya madrasah memecahkan persoalan-persoalan di atas. Anggapan tersebut dapat berupa bahwa madrasah kurang mampu bersaing dengan sekolah-sekolah umum, perlengkapan belajar yang masih kurang memadai, kurikulum yang overloaded, peluang lulusan dari madrasah terhadap perguruan-perguruan tinggi umum dan dunia kerja lebih sedikit dibandingkan dengan lulusan dari sekolah-sekolah umum hingga adanya anggapan bahwa madrasah adalah lembaga pendidikan kelas dua.
Persoalan kedelapan, adalah masalah kelembagaan. Kelembagaan pada suatu lembaga pendidikan menjadi signifikan karena adanya pembaharuan dimulai dari kemauan dan kesiapan lembaga tersebut. Derasnya gelombang pembaharuan tanpa diiringi kemauan dan kesiapan suatu lembaga maka perubahan tersebut tidaklah mempunyai arti, karena dominasi suatu lembaga pendidikan terhadap kegiatan-kegiatan pendidikan sangat kuat.

[1] Lembaran Negara Republik Indonesia No. 78, 2003 tentang Undang-undang Republik Indonesia No 20 Tahun 2003, tentang Sistem Pendidikan Nasional, h. 9

[2] Jurnal Madrasah, Vol. I, No. 4, 1998, h. 6
[3] Mastuhu, Memberdayakan Sistem Pendidikan Islam, (Jakarta: Logos, 1999), cet. ke-2, h. 57
[4] Abdullah Idi, Pengembangan Kurikulum; Teori dan Praktik, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1999), cet. ke-1, h. 3
[5] H.M. Irsyad Djuwaeli, Pembaharuan Kembali Pendidikan Islam, (Ciputat: Yayasan Karsa Utama Mandiri dan PB. Mathlaul Anwar, 1998), cet. ke-1, h. 20-21
[6] Azyumardi Azra, Paradigma Baru Nasional Rekonstruksi dan Demokratisasi, (Jakarta: Kompas, 2002), cet. ke-1, h. 119-120