Kamis, Mei 29, 2008

Antara Kesalehan Pribadi dan Sosial

Hampir setiap agama mengajarkan ummatnya untuk senatiasa berbuat baik, menghormati, menghargai pendapat, kreatif dalam bekerja, inovatif dalam pemikiran, komitmen dan memiliki rasa tanggung jawab (responsibility) besar terhadap pekerjaan, rasa memiliki terhadap apa yang akan/telah dikerjakan dan lain sebagainya. Semua itu adalah ajaran agama, sebuah nilai spiritualitas yang tidak saja harus dipertanggungjawabkan kepada orang lain, masyarakat, tapi kepada sang Yang Punya Alam Jagat Raya, Allah SWT.

Semua perasaan tersebut (baca: nurani) kalau saja tertanam kuat di setiap insan, tentulah tidak akan ada kekacauan, tak ada kejahatan, tidak ada korupsi, pendek kata semua orang pasti akan berjalan sesuai dengan pemberlakuan hukum Tuhan. Kalau kita ingin selamat maka berjalanlah sesuai dengan "nurani" tersebut, tapi ketika kita sudah berani berkonfrontasi dengan "nurani" tersebut bersiaplah untuk menghadapi petaka. Allah SWT berfirman: "Maka hadapkanlah wajahmu kepada agama yang hanif (Islam)....". Sebuah perintah yang memberikan interpretasi bahwa beragama tidak cukup hanya dilakukan dengan sebuah ritualitas, rutinitas, seperti salat, puasa, haji, zakat, dan lain sebagainya tapi bagaimana ritualitas tersebut berimplikasi pada efek sosial yang menjelma dalam bentuk perbuatan. Sehingga amalan tersebut tidak saja dirasakan oleh yang bersangkutan tapi juga berefek pada orang lain. Hal ini sebagaimana firman Allah SWT: "sesungguhnya salat dapat mencegah perbuatan keji dan munkar". Dalam konteks ayat tersebut fungsi salat sesungguhnya dapat menghindari manusia berbuat jahat. Tapi ironisnya mengapa salat kita tidak mampu menghindari kedua perbuatan tersebut, mengapa korupsi semakin merajalela padahal salat terus mereka laksanakan? Mengapa puasa hanya menahan lapar dan dahaga? Mengapa ibadah haji hanya dijadikan sebagai sebuah rutinitas mengelilingi ka'bah, berlari lari kecil antara safa dan marwa? Lalu, bagaimana seharusnya agar amalan ibadah tersebut tidak hanya berefek pada pribadi bersangkutan, tapi dapat juga dirasakan secara maksimal oleh orang lain.

Islam sebagai Agama Rahmatan Lil ’Alamin

Secara etimologis, Islam berasal dari kata aslama, yuslimu, islaman, berarti ”keselamatan”, kedamaian, dan kesejahteraan. Dalam arti yang luas, Islam dapat diartikan sebagai bentuk kepercayaan yang diajarkan nabi Muhammad SAW yang mengajarkan kepada manusia untuk senantiasa iman kepada Allah, melaksanakan segala yang diperintahkan dan menjauhi segala yang dilarang-Nya. Dengan kata lain, Islam dalam arti sempit berarti agama terakhir yang dibawa melalui nabi Muhammad, dengan pedomannya al-Qur’an dan al-Sunah. Hal ini sebagaimana diungkap dalam al-Qur’an, innaddiina ’inda Allah al-Islam (sesungguhnya agama yang diridhai Allah adalah Islam. Namun, dalam arti yang luas, Islam berarti semua ajaran agama yang mengajarkan manusia untuk mempercayai adanya Allah SWT, mengajarkan manusia untuk berbuat baik, tolong menolong, menganjurkan perdamaian, menghormati orang lain. Oleh karenanya, semua agama yang dibawa nabi-nabi terdahulu sesungguhnya tidak ada perbedaan prinsip dengan agama yang diajarkan nabi Muhammad SAW, semua nabi mengajarakan perinsip-perinsip, seperti ketauhidan, ta’awun, perdamaian, hak asasi manusia; dan itu semua adalah perinsip-perinsip yang bersifat universal. Misalnya saja, semua agama sepakat kalau berbuat hura-hura, mabuka mabukan, mencuri, membunuh, adalah perbuatan yang dilarang; sementara menghormati orang lain, berbuat baik, menolong orang, disiplin adalah perbuatan yang baik.
Prinsip-prinsip universal yang dimiliki semua agama itu yang pada akhirnya nanti dapat menghantarkan manusia pada ”kalimatun sawa”, kesepakatan bersama untuk saling membantu, menghormati satu sama lain dalam berbagai aktifitas kemanusiaan, tanpa ada pandang bulu dari ”agama” dari mana berasal

Hal ini semakin dipertegas oleh visi Islam sendiri dalam QS al-Anbiya ayat 7 yang menyebutkan bahwa keberadaan Islam harus menjadi rahmat bagi seluruh alam. ”..dan tidaklah Aku utus engkau (Muhammad) melainkan untuk menjadi rahmat bagi seluruh alam”. Menurut Raghib al-Isfahani, rahmat berarti ”sikap halus dan lembut yang mengharuskan berbuat baik kepada orang yang dikasihi dan terkadang digunakan pada sikap lembut yang tulus dan terkadang digunakan pula pada sikap berbuat baik yang tidak mengandung unsur kepentingan apapun, sebagaimana Allah telah berbuat baik kepada manusia.
Sikap kasih yang tercermin dalam ayat tersebut menunjukan sikap kasih sayang yang amat luas, sikap kasih yang harus tercermin pada perilaku terhadap diri, keluarga, masyarakat, orang tua, guru, orang lain, sahabat, teman sejawat, tumbuhan, binatang, dan alam raya yang lain yang didasarkan pada sikap ikhlas, tanpa pamrih, dan telah menjadi komitmen moralitas peribadinya. Sikap kasih sayang demikian tentu saja tidak mungkin dapat terejawantahkan dalam sebuah perilaku yang benar-benar mantap tanpa didasari oleh pengamalan akhlak islami yang baik pula.
Sebuah perilaku yang didasarkan pada al-Qur’an dan al-Sunah. Dengan sikap dan komitmen yang kuat pada menurut koridor yang digariskan al-Qur’an dan al-Sunah, tentu saja sikap-sikap yang dijalankannya pun sesuai dengan kaidah dan norma yang baik.

Iman dan Amal Saleh

Merujuk pada uraian di atas dapat disimpulkan bahwa Islam adalah sebuah pengamalan agama yang tidak saja hanya cukup dengan amalan pribadi dalam bentuk mengerjakan sebuah ritualitas yang termaktub dalam 5 Rukun Islam, tapi lebih dari itu Islam mewajibkan ummatnya untuk senantiasa peduli terhadap seluruh mahluk yang ada di alam jagat raya. Sudah seharusnya salat, puasa, zakat, dan haji kita bukan hanya menjadi sebuah ritualitas tapi lebih berefek pada sebuah kepedulian sosial. Nabi bersabda "sebaik-baik manusia adalah mereka yang memberi kemanfaatan terhadap orang lain". Dengan kata lain, ibadah kita tidak saja bermanfaat untuk dirinya sendiri tapi bagaimana sebuah ritualitas seperti salat dapat mencegah perbuatan keji dan munkar.

Islam sebagai agama yang memberi rahmat juga secara integratif telah menginformasikan bahwa antara iman dan amal saleh selalu berjalan secara beriringan. Tidak cukup manusia hanya beriman, dalam arti membenarkan dengan hati, dan mengucapkan komitmen kesaksian terhadap keesaan Allah SWT, tapi sebuah komitmen diharuskan diperlihatkan dengan sebuah perilaku positif yang dapat dirasakan manfaatnya oleh seluruh alam. Inilah sesungguhnya fungsi Islam yang sesungguhnya. []