Senin, Januari 26, 2009

Pendidikan Anak


Tanggung jawab pendidikan semestinya bukan hanya menjadi tanggung jawab institusi sekolah saja, akan tetapi peran kedua orang tua dalam mencerdaskan anak menjadi sangat dominan. Orang tualah yang harus mengenalkan anaknya kepada agama, budi pekerti, akhlak, lingkungan sekitar, bahkan kalau perlu ilmu-ilmu lain yang anak perlukan sampai pada pemilihan institusi pendidikan yang baik.
Masalah anak-anak dan pendidikan adalah suatu proses yang amat menarik perhatian. Sejak awal kehidupan anak, secara terus menerus dihadapkan bahkan dituntut untuk selalu mampu menyesuaikan diri atau bersosialisasi dengan lingkungannya. Lingkungan di mana anak hidup secara terus menerus berubah. Keluarga tentu saja adalah lingkungan pertama yang menuntut anak agar mampu menyesuaikan diri dengan baik. Meningkatnya usia dan kematangan, diharapkan anak mampu bersosialisasi dan menyesuaikan diri dengan lingkungan sekitar. Di rumah, anak-anak hanya tinggal dengan orang tua dan mungkin juga anggota keuarga lainnya. Namun setelah mereka berada di luar keluarga, lingkungan yang beragam sifat dan tuntutannya akan ikut pula mempengaruhi kemampuan penyesuaian diri anak tersebut.
Keterlibatan orang tua terhadap pendidikan anak sangat diperlukan terutama pada usia-usia dini atau usia anak pra sekolah. Anak pra sekolah adalah mereka yang berusia antara 3-6 tahun. Setiap anak adalah unik, dalam arti pola dan saat pertumbuhan dan perkembangan, baik kepribadian, gaya pembelajaran dan latar belakang keluarga. Pengalaman-pengalaman yang dilalui waktu kecil, pahit maupun menyenangkan semuanya akan berpengaruh dalam kehidupan nantinya. Karena kepribadian terbentuk dari pengalaman waktu kecil, terutama dari tahun-tahun pertama anak. Pengalaman-pengalaman itu termasuk di dalamnya pendidikan anak atau juga keadaan lingkungan sekitar, termasuk lingkungan keluarga.
Bagi anak-anak yang masih kecil pendidikan merupakan hal vital, terutama menyangkut pendidikan agama. Hal ini dikarenakan pelajaran agama mudah masuk bila fundamental keimanan sudah tertanam sejak awal. Dalam konteks ini, Islam sudah mengatur pola pendidikan anak dalam agama. Sejak dalam kandungan, para orang tua –terutama ibu—disarankan untuk selalu berbuat baik, bertutur sapa yang baik, memberikan bacaan ayat-ayat suci al-Qur’an, bahkan ketika melahirkan pun sanga bapak disarankan melantunkan lafadz adzan dan iqomat. Bentuk pendidikan agama pun sangat terlihat pada aqiqah, yakni menyembelih seekor hewan sebagai bentuk rasa syukur atas kehadiran seorang anak dalam keluarga. Usia 7 tahun anak itu disuruh shalat oleh orang tuanya. Dan bila telah mencapai umur 10 tahun belum juga melaksanakan shalat, masih bermalas-malasan mengerjakannya, diperkenankan memukulnya. Namun karena kesibukan para orang tua terhadap pekerjaan, terkadang pendidikan anak terlupakan bahkan banyak dari para orang tua yang secara tega menitipkan anak-anaknya kepada lembaga-lembaga pendidikan untuk diberi pengajaran dan pendidikan.
Padahal di lembaga-lembaga pendidikan yang ada hanya memberikan pengajaran, bukan pendidikan. Kalaupun ada pendidikan, hanyalah pendidikan yang salah, yakni pendidikan yang menghilangkan kepribadian. Secara kognitif mungkin saja anak-anak yang belajar di lembaga-lembaga tersebut pandai, tetapi secara aplikatif psikomotorik masih jauh dari tujuan pendidikan yang sebenarnya.
Pengaruh keadaan sekeliling, pengaruh pekerjaan, kepandaian dan pendidikan orang tua di zaman dahulu sangat besar kepada anaknya. “Air turun dari cucuran atap”, demikian kata pepatah. Hal itu pun menurun kepada anaknya, demikian juga jika ayahnya orang pintar, tampak kepintaran itu akan turun pula kepada anak. Tetapi tidak dapat kalau ayah saja yang membimbing anak itu, sebab seorang punya tugas lain di rumah. Di sinilah gunanya guru. Anak yang ayahnya bodoh, mungkin tidak menurun bodoh ayahnya lagi, sebab ada gurunya. Anak yang ayahnya pintar, sehingga ada harapan pula anaknya jadi pintar, maka harapan itu akan tinggal harapan kalau tidak ada guru yang memimpinnya.[]

Tidak ada komentar: