Jumat, April 03, 2009

PEMBARUAN PENDIDIKAN ISLAM

Oleh: Fauzan,


PENDAHULUAN
Pendidikan Islam sesungguhnya telah tumbuh dan berkembang sejalan dengan adanya dakwah Islam yang telah dilakukan Nabi Muhammad saw. Berkaitan dengan itu pula pendidikan Islam memiliki corak dan karakteristik yang berbeda sejalan dengan upaya pembaharuan yang dilakukan secara terus menerus pasca generasi Nabi, sehingga dalam perjalanan selanjutnya pendidikan Islam terus mengalami perubahan –baik dari segi kurikulum (mata pelajaran) , maupun dari segi lembaga pendidikan Islam yang dimaksud. Ini artinya bahwa sesungguhnya adanya upaya perubahan –walaupun sedikit-- benar-benar telah nampak dan terjadi secara alamiah (nature) dalam pendidikan Islam.
Sedikitnya ada 5 fase yang bisa menjadi acuan dalam memahami dan menjelaskan periodisasi pendidikan Islam. Pertama, masa pembinaan pendidikan Islam, kondisi pendidikan Islam yang terjadi pada masa awal kenabian Muhammad, kedua, masa pertumbuhan dan perkembangan pendidikan Islam, yaitu kondisi pendidikan Islam yang terjadi pada masa Nabi Muhammad dan masa Khulafaaurrasyidin; ketiga, masa kejayaan pendidikan Islam, satu kondisi pendidikan Islam yang banyak menggunakan dua pola pemikiran berbeda. Dari pola pemikiran yang bersifat tradisional yang lebih banyak mendasarkan pada kekuatan wahyu (pola sufistik), hingga pola pemikiran rasional yang lebih banyak mementingkan akal pikiran dan empiris. Kedua pola inilah yang menjadi faktor lain timbulnya masa kejayaan Islam. Masa ini terjadi pada pemerintahan Bani Umayyah dan Abbasiyah; keempat, masa kemunduran pendidikan Islam, satu masa dimana kondisi ummat Islam saat itu lebih banyak bertumpu pada cara berfikir tradisional (sufistik) dan tidak lagi mau menggunakan pola berfikir rasional yang telah diambil oleh Barat. Kondisi ini terjadi kira-kira abad ke VIII dan abad ke XIII M, pasca kehancuran Bagdad dan Granada sebagai pusat-pusat pendidikan dan kebudayaan Islam ke tangan raja Hulagu dari Mongolia. Dan yang kelima, masa pembaharuan atau modernisasi pendidikan Islam. Sebuah totalitas kesadaran kolektif ummat Islam terhadap segala kekurangan dan problematika yang dihadapi pendidikan Islam untuk kemudian bisa diperbaiki dan diperbaharui sepadan dengan kemajuan atau minimalnya bisa mengikuti perkembangan yang dilakukan Barat saat itu.
Sebagai sebuah rentetan pembahasan yang saling terkait satu sama lain, pembahasan makalah ini sesungguhnya lebih didasari pada upaya bagaimana kita bisa memahami apasih sesungguhnya yang dimaksud dengan modernisasi atau pembaharuan dalam pendidikan Islam, hal-hal apa saja yang melatar belakangi kemunduran pendidikan Islam, dan faktor-faktor apa saja yang melatar belakangi modernisasi atau pembaharuan pendidikan Islam, serta bagaimana pola-pola modernisasi pendidikan Islam. Kelima sub tema tersebut, kelihatannya sangat menarik untuk kita diskusikan lebih lanjut.

PENGERTIAN MODERNISASI
Secara etimologis, Modernisasi berasal dari kata modern, yang telah baku menjadi bahasa Indonesia dengan arti pembaharuan. Pendek kata, modernisasi juga bisa disebut pembaharuan. Dalam masyarakat Barat “modernisme” mengandung arti pikiran, aliran, gerakan dan usaha-usaha untuk mengubah paham-paham, adat-istiadat, institusi-institusi lama dan lain sebagainya, agar semua itu menjadi sesuai dengan pendapat-pendapat dan keadaan baru yang ditimbulkan oleh ilmu pengetahuan dan teknologi modern. Lahirnya modernisasi atau pembaharuan di sebuah tempat akan selalu beriringan dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang berkembang saat itu. Artinya tidak mungkin akan ada pembaharuan tanpa ada dukungan perkembangan ilmu pengetahuan.
Modernisasi atau pembaharuan bisa diartikan apa saja yang belum dipahami, diterima, atau dilaksanakan oleh penerima pembaharuan, meskipun bukan hal baru bagi orang lain. Pembaharuan biasanya dipergunakan sebagai proses perubahan untuk memperbaiki keadaan yang ada sebelumnya ke cara atau situasi dan kondisi yang lebih baik dan lebih maju, untuk mencapai suatu tujuan yang lebih baik dari sebelumnya. Dengan kata lain, pembaharuan sesungguhnya lebih merupakan upaya atau usaha perbaikan keadaan, baik dari segi cara, konsep, dan serangkaian metode yang bisa diterapkan dalam rangka menghantarkan keadaan yang lebih baik.
Bagi Nurkholish Madjid, atau yang biasa disebut Caknur, menyatakan bahwa modernisasi sebagai rasionalisasi, yaitu proses perombakan pola berfikir dan tata kerja lama yang tidak rasional, dan menggantinya dengan pola berfikir dan tata kerja baru yang rasional. Kontruksi berfikir seseorang yang sering menjadi acuan dalam adanya perombakan gagasan, seringkali menjadi faktor penentu juga dalam rangka melahirkan proses pembahruan secara simultan. Adanya proses pembaharuan tentu saja akan meniscayakan aktifitas yang selalu dibarengi dengan cara berfikir rasional, progresif, dan dinamis.
Merujuk dari beberapa pengertian di atas, kelihatannya ada beberapa komponen yang menjadi ciri suatu aktifitas dikatakan sebagai aktifitas pembaharuan, antara lain: Pertama, baik pembaharuan maupun modernisasi akan selalu mengarah kepada upaya perbaikan secara simultan, kedua, dalam upaya melakukan suatu pembaharuan di sana akan meniscayakan pengaruh yang kuat adanya ilmu pengetahuan dan teknologi, ketiga, upaya pembaharuan biasanya juga dilakukan secara dinamis, inovatif dan progresif sejalan dengan perubahan cara berfikir seseorang.
Dengan demikian, kalau kita kaitkan dengan Pembaharuan Pendidikan Islam akan memberi pengertian bagi kita, sebagai suatu upaya melakukan proses perubahan kurikulum, cara, metodologi, situasai dan kondisi pendidikan Islam dari yang tradisional (ortodox) ke arah yang lebih rasional, dan profesional sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi saat itu. Pengertian tersebut, sesungguhnya lebih merupakan fakta empiris kalau pendidikan Islam masih tradisional, lamban, statis, dan masih belum mampu menyiapkan generasi yang handal dan juga belum siap menghadapi tuntutan zaman.
Gagasan Pembaharuan Pendidikan Islam banyak mempunyai hubungan yang erat dalam gagasan tentang “pembaharuan” pemikiran dan institusi Islam secara keseluruhan. Dengan kata lain, pembaharuan pendidikan Islam kelihatannya tidak bisa dipisahkan dengan kebangkitan gagasan dan program pembaharuan Islam. Hal ini dikarenakan kerangka dasar yang berada dibalik “pembaharuan Islam” secara keseluruhan adalah bahwa “pembaharuan” pemikiran dan kelembagaan Islam merupakan prasyarat bagi kebangkitan kaum muslim di masa modern. Tanpa adanya perombakan pemikiran –sebagaimana dijelaskan di muka—tidak akan bisa terwujud bentuk-bentuk pembaharuan yang lain. Oleh karenanya menurut hemat penulis dalam pembahasan ini nantinya tidak melulu akan membahas pembaharuan pendidikan Islam secara parsial, namun juga akan dibahas secara komprehenship pembaharuan Islam, tentu saja yang masih ada kaitannya dengan pembaharuan di atas.

LATAR BELAKANG KEMUNDURAN PENDIDIKAN ISLAM
Dalam sejarah peradaban Islam, kita tahu bahwa ada dua corak pemikiran yang selalu mempengaruhi cara berfikir Ummat Islam. Pertama, pemikiran tradisionalis (ortodox) yang berciri sufistik dan kedua, pemikiran rasionalis yang berciri liberal, terbuka, inovatif, dan konstruktif. Kedua corak itulah yang kelihatannya pada saat-saat kejayaan Islam berlangsung bersatu padu, saling mengisi satu sama lain. Orang tidak lagi mau membedakan mana yang harus mereka pelajari, yang jelas baik ilmu agama yang bersumber dari wahyu maupun ilmu pengetahuan yang bersumberkan nalar mereka pelajari tanpa ada dikhotomi. Keduanya telah betul-betul dijadikan sebagai sarana dalam menggali ilmu, baik ilmu agama maupun ilmu pengetahuan umum.
Kejayaan ini berlangsung cukup lama, sampai diangkatnya penguasa baru Abbasiyah –al-Mutawakkil—yang bermazhab sunni melakukan pencabutan izin resmi Mu’tazilah sebagai satu aliran resmi kenegaraan yang pernah terjadi pada masa Al-Ma’mun, kondisi terus berlanjut hingga ummat merasa antipati terhadap golongan Mu’tazilah, golongan yang gencar menyebarkan ajaran rasionalis. Sejak itu masyarakat tidak lagi mau mendalami ilmu-ilmu sains dan filsafat. Pemikiran logis dan ilmiah tidak lagi menjadi budaya berfikir masyarakat muslim sampai akhirnya pola berfikir rasional berubah menjadi cara berfikir tradisional yang banyak dipengaruhi oleh ajaran spiritualitas, tahayyul, dan kejumudan.
Antipati terhadap Mu’tazilah juga telah menyebabkan pengawasan yang ketat terhadap penerapan kurikulum di madrasah. Jatuhnya paham Mu’tazilah telah mengangkat kaum konservatif menjadi kuat. Dalam rangka mengembalikan paham ahlussunah sekaligus memperkokoh basis, para ulama sering melakukan kontrol terhadap kurikulum di lembaga-lembaga pendidikan. Pada masa ini, materi pelajaran sangat minim, hanya terbatas pada ilmu-ilmu agama, bahkan pendidikan Islam lebih identik dengan pengajaran tasawuf dan fiqh. Kondisi demikian terus diperburuk seiring dengan runtuhnya kota Baghdad, akibat serangan tentara Mongol pada tahun 1258 M, yang kemudian juga berakibat pada kehancuran kebudayaan dan pusat pendidikan Islam. Artinya, kemunduran ummat Islam sesungguhnya telah diawali sejak runtuhnya aliran Mu’tazilah, yang kemudian berakibat pada cara berfikir ummat Islam yang tidak lagi rasional, tidak lagi mau menganggap ilmu pengetahaun umum sebagai satu kesatuan ilmu yang punya nilai guna. Hal ini terus diperburuk oleh situasi politik negeri Islam yang tidak menentu, yang berakibat pada rapuhnya sistem pemerintahan saat itu, yang kemudian juga berakibat pada lemahnya sektor pendidikan, baik institusi, metodologhi, bahkan tujuan pendidikan Islam semakin kehilangan visi, misi, dan tujuan sebagaimana yang pernah diterapkan di masa-masa kejayaan Islam.

HAL-HAL YANG MELATAR BELAKANGI
PEMBAHARUAN PENDIDIKAN ISKAM
Terpuruknya nilai-nilai pendidikan pendidikan Islam –sebagaimana diterangkan di muka—sesungguhnya lebih dilatarbelakangi oleh kondisi internal Islam yang tidak lagi menganggap ilmu pengetahuan umum sebagai satu kesatuan ilmu yang harus diperhatikan. Sehingga pada proses selanjutnya Ilmu pengetahuan lebih banyak diadopsi bahkan dimanfaatkan secara komperehenship oleh Barat yang pada waktu itu tidak pernah mengenal ilmu pengetahuan.
Kecanggihannya dalam memanfaatkan ilmu pengetahuan telah membuktikan Barat telah beberapa kali memenangkan perang melawan ummat Islam. Bahkan beberapa wilayah Islam telah dikuasai Barat.
Inilah awal mula terjadinya kesadaran ummat Islam akan ketertinggalannya yang begitu jauh. Interospeksi terus dilakukan oleh beberapa pembaharu Islam, untuk kemudian bisa dicarikan apa yang harus kita perbuat dalam mengembalikan kejayaan Islam di masa lalu.
Secara garis besar, ada beberapa faktor yang mendorong terjadinya proses pembaharuan pendidikan Islam, yaitu:
Pertama, Faktor kebutuhan pragmatis ummat Islam yang sangat memerlukan satu sistem pendidikan Islam yang betul-betul bisa dijadikan rujukan dalam rangka mencetak manusia-manusia muslim yang berkualitas, bertaqwa, dan beriman kepada Allah.
Kedua, agama Islam sendiri melalui ayat suci al-Qur’an banyak menyuruh atau menganjurkan ummat Islam untuk selalu, berfikir dan bermetaforma : membaca dan menganalisisis sesuatu untuk kemudian bisa diterapkan atau bahkan bisa menciptakan hal yang baru dari apa yang kita lihat.
Kedua faktor di atas sesungguhnya lebih merupakan faktor-faktor yang bisa dilihat secara internal. Adanya kebutuhan ummat akan kemajuan dan perbaikan nasib dirinya bisa dikatakan sebagai faktor penentu timbulnya proses pembaharuan pendidikan dalam Islam. Disamping agama Islam sendiri melalui al-Qur’an –sebagai sumber ajarannya—banyak menganjurkan kepada ummatnya untuk selalu berinovasi, melakukan pembaharuan di segala bidang.
Ketiga, Adanya kontak Islam dengan Barat, juga merupakan faktor terpenting yang bisa kita lihat. Adanya kontak ini paling tidak telah menggugah dan membawa perubahan paradigmatik ummat Islam untuk belajar secara terus menerus kepada Barat, sehingga ketertinggalan-ketertinggalan yang selama ini dirasakan akan bisa terminimalisir.
Terjadinya kontak hubungan antara Islam dengan Barat merupakan faktor eksternal pembaharuan pendidikan Islam karena ummat Islam dapat melihat kemajuan Barat pada peralatan militer, ilmu pengetahuan dan teknologi. Pendudukan atas Mesir oleh Napoleon Bonaparte pada tahun 1798 merupakan tonggak sejarah bagi ummat Islam untuk mendapatkan kembali kesadaran akan kelemahan dan kemunduran mereka khususnya dalam bidang teknologi. Ekspedisi Napoleon di Mesir bukan hanya menunjukan sepasukan tentara yang kuat dengan peralatan militernya, bahkan juga membawa sepasukan ilmuan dengan seperangkat peralatan ilmiah dua set peralatan. Kondisi inilah yang melatarbelakangi kepada para tokoh pembaharuan Islam akan kemunduran dan keterbelakangan yang selama ini dirasakan.
Oleh karenanya, adanya kontak Islam dengan Barat pada abad 20, setidaknya telah memunculkan dua respon ummat Islam. Pertama, rasa simpatik ummat Islam akan kemajuan yang dialami Barat, telah berimplikasi pada lahirnya suatu gerakan yang mencoba melakukan pembaharuan melalui pengadopsian ilmu pengetahuan, teknologi, dan nilai-nilai Barat ke dalam dunia Islam dengan tujuan membangkitkan kembali Islam ke pentas dunia. Kedua, rasa keprihatinan dari sebagian golongan ummat Islam akan kemunduran-kemunduran yang dialami Islam. Kondisi demikian telah membawa pada satu gerakan yang melihat bahwa kemunduran Islam disebabkan oleh ketidaksetiaan ummat Islam sendiri terhadap ajaran-ajaran Islam yang sesungguhnya. Oleh sebab itu untuk memajukan Islam tidak ada jalan lain kecuali dengan kembali kepada ajaran Islam yang murni berdasarkan ajaran al-Qur’an dan as-Sunah. Gerakan inilah yang kemudian lebih dikenal sebagai kelompok tradisionalis, satu kelompok gerakan pembaharuan dalam Islam yang lebih banyak melihat kejayaan masa lalu, sehingga dalam proses pembaharuannya kelompok ini selalu menganjurkan untuk mengembalikan segala persoalan kepada al-Qur’an dan al-Hadis.

POLA PEMBAHARUAN PENDIDIKAN ISLAM
Dengan memperhatikan beberapa faktor yang menjadi sebab lahirnya pembaharuan pendidikan Islam, maka --menurut penulis-- pada garis besarnya telah terjadi dua pemikiran pembaharuan pendidikan Islam, kedua pola tersebut adalah: 1) pola pembaharuan pendidikan Islam yang berorientasi pada pola pendidikan modern di Barat, yang kemudian kita kenal dengan gerakan modernis, dan 2) pembaharuan pendidikan Islam yang berorientasi pada tujuan pemurnian kembali ajaran Islam.
Pertama, golongan yang berorientasi pada pola pendidikan modern di Barat berpandangan bahwa sumber kekuatan dan kesejahteraan hidup yang diakui oleh Barat adalah dengan jalan mendirikan sekolah-sekolah ala Barat, baik sistem maupun isi pendidikannya. Di samping –dalam rangka memajukan sistem pendidikan Islam—banyak juga pelajar yang dikirim ke Eropa terutama Perancis, untuk menguasai ilmu-ilmu sains dan teknologi modern. Kelompok ini telah menyadari kalau kondisi pendidikan Islam telah mengalami kemunduran yang sangat luar biasa, pendidikan Islam –institusi Madrasah—tidak lagi bisa dipandang sebagai institusi alternatif yang bisa mencetak para lulusan yang handal. Oleh karenanya adanya usaha perbaikan sistem, tujuan, metodologhi, sarana dan prasarana ke arah pendidikan yang lebih baik sudah menjadi satu kebutuhan bagi para pembaharu Islam. Dan bagi kelompok ini, langkah pertama yang harus dilakukan adalah bagaimana ummat Islam bisa belajar dari Barat –dalam pengertian menggali segala ilmu pengetahuan yang mereka miliki--, tidak bosan menggali banyak informasi dari manapun, sehingga ketertinggalan-ketertinggalan yang selama ini kita rasakan –paling tidak-- akan bisa terminimalisir.
Kelihatannya inilah yang pernah dilakukan oleh Mohammad Ali Pasya (1805-1848) sewaktu ia berkuasa di Mesir. Untuk tujuan ini ia banyak mendatangkan guru-guru dari Barat untuk mengajar di sekolah-sekolah militer dan teknik di Mesir. Dalam masa yang sama juga diusahakan penerjemahan buku-buku Barat ke dalam Bahasa Arab, hal ini dimaksudkan agar ummat Islam –yang Arabism-- juga bisa menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi Barat.
Kedua, golongan yang berorientasi pada pembaharuan pendidikan Islam yang berdasarkan sumber Islam yang murni. Bagi mereka terjadinya kemunduran ummat Islam lebih disebabkan oleh ketidaktaatan kaum muslimin dalam menjalankan ajaran Islam menurut semestinya. Pola ini berpandangan behwa sesungguhnya Islam sendiri merupakan sumber bagi kemajuan dan perkembangan peradaban serta ilmu pengetahuan modern, dalam hal ini Islam telah membuktikannya pada masa kejayaan di masa silam. Bagi kelompok ini, adanya kemajuan peradaban dan ilmu pengetahuan yang pernah dialami ummat Islam seharusnya menjadi referensi atau bahkan sandaran kalau sesungguhnya Islam sendiri, melalui ajarannya yakni al-Qur’an dan Hadis bisa memajukan ummatnya tanpa harus berkiblat pada Barat. Justeru kita harus kembali menengok masa-masa silam kejayaan ummat Islam, bukannya malah berbalik memalingkan atau tidak mau menengok sama sekali ke belakang. Demikian pendapat kelompok tradisionalis.

TOKOH DAN SASARAN PEMBAHARUAN PENDIDIKAN ISLAM
Menurut sebagian tokoh-tokoh pembaharu Islam, salah satu penyebab kemunduran ummat Islam adalah karena dan merosotnya kualitas pendidikan Islam. Untuk itu, perlu mengembalikan kekuatan pendidikan Islam sebagai penyangga kemajuan ummat Islam sehingga nanti akan bermunculan gagasan-gagasan tentang pembaharuan pendidikan Islam yang diikuti dengan pelaksanaan perubahan penyelenggaraannya.
Kebangkitan intelektual di Barat telah memberikan kontribusi yang besar terhadap Eropa. Semangat rasionalisme akibat dari adanya informasi pengetahuan yang mereka dapat telah membuat negara-negara Barat menjadi kuat, baik militer, ekonomi, maupun ilmu pengetahuan dan teknologi. Satu kondisi kondushif yang pernah dialami ummat Islam pada masa-masa kejayaannya. Kini kondisi itu seakan berbalik, dimana Barat yang dulunya sangat terbelakang –lemah akan IPTEK-- menjadi kian maju sarat dengang ilmu pengetahuan dan teknologi yang mereka kuasai, sedang Islam tidak lagi memiliki kekuatan yang dapat dibanggakan. Hal ini membuat Islam merasakan kekalahan-kekalahan ketika Barat mulai bangun dan berusaha melepaskan diri dari kekuasaan Islam.
Bila kita merujuk pada dua pola pembaharuan pendidikan Islam di atas –pola pembaharuan yang bercorak Modernis dan Tradisinalis--, kelihatannya tidak sedikit tokoh yang mencoba melakukan pembaharuan dalam bidang ini. Namun, dalam pembahasan ini penulis hanya akan menguraikan secara panjang lebar para tokoh pembaharuan pendidikan Islam yang bercorak modernis, hal ini sejalan dengan pembaharuan pendidikan Islam yang pernah dilakukan pada tiga wilayah kerajaan besar, yakni Kerajaan Usmani, Mesir dan India, yang sudah sangat jelas dengan para tokoh pembaharuannya. Antara lain Sultan Ahmad III (1703-1713 M) dan Mahmud II (1807-1839 M), dua tokoh pembaharu pendidikan Islam dari kerajaan Turki Usmani. Mohammad Ali Pasya (1765-1849 M) dan Mohammad Abduh, dua tokoh yang menjadi representasi pembaharuan di Mesir, serta Sayyid Ahmad Khan, tokoh pembaharu yang menjadi simbol kemajuan ummat Islam di India. Kelima tokoh itulah yang nantinya akan banyak mewarnai tulisan ini.

Wilayah Turki
Pembaharuan pendidikan di dunia Islam pertama kali dimulai di kerajaan Turki Usmani. Faktor yang melatarbelakangi gerakan pembaharuan pendidikan bermula dari kekalahan-kekalahan Kerajaan Usmani dalam peperangan dengan Eropa. Kekalahan tentara Turki pada pertempuran di dekat Wina memaksa Turki menandatangani perjanjian Carlowitz pada tahun 1699 M yang berisi penyerahan daerah Hingaria kepada Austria, daerah Podolia kepada Polandia, dan daerah Azov kepada Rusia. Adapun tokoh yang mencoba melakukan upaya tersebut adalah:
1. Sultan Ahmad III
Adanya kekalahan-kekalahan yang dialami kerajaan Turki Usmani telah menyebabkan Sultan Ahmad III amat perihatin sembari melakukan interospeksi kenapa Kerajaan Turki selalu kalah. Dari itu, tumbuh sikap baru dalam diri kerajaan Turki Usmani untuk bersikap lebih arif terhadap keberadaan Barat. Barat tidak lagi dianggap sebagai musuh yang harus dijauhi. Menurut Ahmad III bila ummat Islam ingin maju maka harus menghargai dan mau menjalin kerja sama untuk mengejar ketinggalan Islam dengan Barat.
Langkah pertama yang dia ambil adalah dengan melakukan pengiriman duta-duta ke Eropa untuk mengamati keunggulan Barat; selanjutnya menyampaikan hasil penelitian tersebut kepada Sultan. Salah satu implikasi dari adanya penelitian tersebut muncul ide dari Sultan untuk mendirikan Sekolah Teknik Militer yang mengajarkan taktik, starategi, serta teknik militer.
Selain militer, Turki mengembangkan ilmu pengetahuan dengan cara mendirikan percetakan di Istambul pada tahun 1727 M. Sebagai cara mempermudah acces buku-buku pengetahuan, mencetak buku-buku tentang ilmu kedokteran, imu kalam, ilmu pasti, astronomi, sejarah, kitab hadis, fiqh, dan tafsir. Selain itu, pada tahun 1717 M beliau mendirikan lembaga terjemah yang bertugas menerjemahkan buku-buku dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan ke dalam bahasa Turki.
Dengan demikian upaya pembaharua pendidikan yang dilakukan Sultan Ahmad III lebih pada upaya menciptakan satu lembaga pendidikan yang didalamnya mengajarkan ilmu-ilmu yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat, bangsa, dan negara. Upaya ini terus dilakukan sampai beliau wafat, dan kemudian digantikan oleh Sultan Mahmud II.

2. Sultan Mahmud II
Upaya pembaharuan yang dilakukan Sultan Mahmud II merupakan upaya kelanjutan pembaharuan yang pernah dilakukan Sultan Ahmad III. Pemabaharuan dalam bidang pendidikan yang coba dilakukannya adalah dengan mencoba memperbaiki kondisi sistem pendidikan madrasah --yang pada saat itu hanya mengajarkan ilmu-ilmu pengetahuan agama—dengan mencoba memasukkan ilmu pengetahuan umum. Namun, sebagaimana halnya di dunia Islam lainnya, sulit sekali bagi Mahmud II untuk mengadakan perubahan kurikulum di madrasah dengan menambahkan pengetahuan umum. Maka akhirnya madrasah tradisional dibiarkan berjalan yang kemudian menjadi tanggung jawab ulama , tetapi disampingnya mendirikan dua sekolah pengetahuan umum: Maktebi Ma’arif (Sekolah Pengetahuan Umum) yang bertujuan mendidik para siswa menjadi pegawai; dan Makteby Ulum U- Edebiye (Sekolah Sastera), sekolah yang sengaja disediakan untuk menyediakan para penterjemah demi keperluan pemerintah. Adapun siswa dari kedua sekolah tersebut adalah siswa terbaik dari madrasah-madrasah tradisional.
Trobosan lain yang coba dilakukan Sultan Mahmud II juga adalah dengan coba mendirikan model-model sekolah Barat. Misalnya pada tahun 1827 ia mendirikan Sekolah Kedokteran (Tilahane-I Amire) dan Sekolah Tekhnik (Muhendisane) dan pada tahun 1834 dibuka Sekolah Akademi Militer. Di samping itu, ia juga mengirimkan lebih kurang 150 pelajar ke luar negeri, yang diharapkan mampu membawa ide-ide baru.
Ide-ide pembaharuan itu telah menunjukan adanya keseriusan Sultan Mahmud II memajukan ummat Islam Turki, dan beliau punya perinsip bahwa upaya pembaharuan tidak akan pernah akan terwujud manakala fondasi dasar yang menjadi tujuan pembaharuan, yakni pola berfikir masyarakat belum berubah. Perubahan pola berfikir tersebut tidak mungkin terwujud kalau kondisi pendidikan Islam sendiri belum diperbaharuahi, baik tujuan, visi dan orientasi, metodologhi, maupun sistem pendidikan secara keseluruhan yang menjadi acuan berhasil atau tidaknya proses pendidikan.

Wilayah Mesir
Tokoh yang mencoba melakukan upaya pembaharuan –khususnya dalam pendidikan—adalah Mohammad Ali Pasya dan Mohammad Abduh.
1. Mohammad Ali Pasya
Dia disebut juga pelopor pembaharuan dan Bapak pembangunan Mesir Modern. Walaupun tidak pandai menulis dan membaca, Mohammad Ali Pasya sangat menyadari pentingnya arti pendidikan dan ilmu pengetahuan bagi kemajuan suatu bangsa. Untuk dalam pemerintahannya, ia mendirikan kementrian pendidikan dan lembaga-lembaga pendidikan, membuka Sekolah Teknik (1836), Sekolah Kedokteran (1827), Sekolah Apoteker (1829), Sekolah Pertambangan (1834), Sekolah Pertanian (1836), dan Sekolah Penerjemahan (1836). Kebijakan dan gebrakan yang diambil Mohammad Ali Pasya lebih banyak mengadopsi tata cara dan model yang dilakukan Barat. Kecendrungan ini bisa dilihat dari model dan sistem pendidikan yang diterapkan di Mesir, guru-gurunya bahkan tenaga ahli dalam rangka memajukan pendidikan pun lebih banyak di impor dari negeri Barat.
Masih dalam konteks melakukan upaya pembaharuan dalam bidang pendidikan, Ali Pasya juga mengirim siswa-siswa untuk belajar ke Italia, Prancis, Inggris, dan Austria. Bahkan kalau menurut Pilip K. Hitti, antara tahun 1823 dan 1844, sekitar 311 pelajar yang dikirim ke Eropa, jumlah yang kelihatannya begitu banyak dan belum pernah terjadi atau pernah dilakukan para pembaharu-pembaharu yang lain.
Berbagai terobosan yang dilakukan Mohammad Ali Pasya di Mesir telah banyak memberikan kontribusi besar terhadap dunia pendidikan Islam. Gerakan pembaharuannya telah memperkenalkan ilmu pengetahuan dan teknologi Barat kepada ummat Islam,dan sampai pada satu waktu dapat menyingkap awan hitam yang menyelimuti pola pikir dan sikap keagamaan, yang juga menjadi embrio kelahiran para tokoh Muslim, --seperti Muhammad Abduh, Rasyid Ridho, Rifa’ah Badawi Rafi’ al-Tahtawi, dan Hasan al-Bana—yang berpengetahuan luas, berwawasan modern, dan tidak berpandangan sempit.

2. Mohammad Abduh
Upaya pembaharuan di bidang pendidikan yang telah dilakukan Mohammad Ali Pasya, satu sisi telah memberi kontribusi posistif terhadap lahirnya suasana pendidikan Islam yang dinamis bahkan dari adanya pembaharuan ini pula telah banyak lahir intelektual muslim yang berwawasan luas baik pengetahuan agama maupun ilmu pengetahuan umum, namun pada sisi yang lain adanya pembaharuan pendidikan Islam telah membawa kondisi pendidikan Islam –dalam hal ini Madrasah—hanya bisa mengajarkan ilmu-ilmu keislaman, akibatnya lulusan Madrasah hanya paham akan ilmu keislamannya saja, dan hal ini tentu akan membawa para lulusan yang berfikiran sempit. Adanya dualisme pendidikan pada masa ini betul-betul telah menjadi kenyataan yang perlu penanganan serius.
Sosok Muhammad Abduh adalah satu dari sekian banyak pembaharu yang merasakan adanya dualisme tersebut, dan hal ini kalau dibiarkan akan membawa pada keberadaan pendidikan Islam (baca: Madrasah) yang tidak lagi diminati serta tidak bisa mencetak para lulusan yang handal. Oleh karenanya, dalam merespon kondisi demikian, Muhammad Abduh mencoba melakukan upaya pembaharuan pendidikan di al-Azhar. Menurut pandangannya al-azhar perlu dimasukkan ilmu-ilmu modern agar ulama-ulama Islam mengerti kebudayaan modern dan dengan demikian dapat mencari penyelesaian yang baik bagi persoalan yang timbul dalam zaman modern. Dengan memasukkan ilmu pengetahuan modern –sebagai syarat menguasai IPTEK guna kelangsunan pembangunan Islam-- ke dalam al-Azhar dan dengan memperkuat pendidikan agama –sebagai bekal tuntunan dan perbaikan moralitas ummat-- di sekolah-sekolah pemerintah, paling tidak akan bisa melahirkan para ilmuan yang tidak kosong akan ilmu pengetahuan agama, dan juga akan terwujud ulama-ulama yang tidak buta akan ilmu pengetahuan umum, sehingga para lulusan Sekolah Pemerintah maupun al-Azhar tidak lagi parsial dalam memahami ilmu (split personality).
Baginya, isu paling penting yang harus menjadi perhatian ‘Abduh sepanjang hayat dan kariernya adalah pembaharuan pendidikan. Menurut pandangannya, pendidikan itu penting sekali, sedangkan ilmu pengetahuan itu wajib dipelajari. Sesuatu yang selalu ‘Abduh fikirkan adalah bagaimana mencari alternatif untuk keluar dari stagnasi yang dihadapinya sekolah agama di Mesir, yakni pendidikan al-Azhar. Abduh berpendapat bahwa pendidikan yang diamatinya cenderung menghasilkan lulusan dan masyarakat yang jumud, tidak transparan, statis, tidak ada perubahan. Oleh karena paham jumud ini, maka ummat Islam tidak menghendaki perubahan, dan tidak mau menerima perubahan. Hanya dengan meningkatkan mutu pendidikan Islam dan mengemukakan kembali ajarn-ajaran dasar Islam dengan bahasa yang jelas dan tegas, pengaruh-pengaruh yang merusak, baik yang bersifat animistik, maupun materialistik, dapat keluar dan lenyap.
Bagi Mohammad Abduh, yang harus diperjuangkan dalam satu sistem pendidikan adalah pendidikan yang fungsional, yang meliputi pendidikan universal bagi semua anak, laki-laki maupun perempuan. Semuanya harus punya dasar membaca, menulis, berhitung dan harus mendapatkan pendidikan agama. Isi dan lama pendidikan haruslah beragam, sesuai dengan tujuan dan profesi yang dikehendaki pelajar. ‘Abduh percaya bahwa anak petani dan tukang harus mendapat pendidikan umum, agar mereka dapat meneruskan jejak ayah mereka.
Dalam sistem pendidikan ‘Abduh, siswa sekolah menengah haruslah mereka yang ingin mempelajari syari’at, militer, kedokteran, atau ingin bekerja pada pemerintah, kurikulumnya meliputi Pengantar Pengetahuan, Seni Logika, Perinsip Penalaran, Teks tentang Dalil Rasional, serta teks sejarah yang meliputi berbagai penaklukan dan penyebaran Islam.
Masih dalam konteks pembaharuan, Abduh berusaha mendirikan Komite Perbaikan Administrasi al-Azhar pada tahun 1895, dan berhasil melaksanakan pembaharuan-pembaharuan administratif yang bermanfaat, namun usahanya untuk mengembangkan kurikulum di al-Azhar menghadapi perlawanan dari para ulama bahkan ia dituduh akan menghidupkan kembali pemikiran-pemikiran Mu’tazilah oleh para ulama al-Azhar seperti Syekh Alaisy. Dalam rangka merubah sistem pendidikan tersebut, Muhammad Abduh hanya mempunyai ide yang tidak bisa direalisir hanya karena benturan dari kelompok ulama konservatif yang belum memahami betul manfaat dari adanya pembaharuan. Oleh sebab itulah, ia merintis pendirian lembaga pendidikan Majlis Pengajaran Tinggi yang bisa mengajarkan kedua ilmu tersebut.
Kondisi demikianpun dihadapinya dengan sabar, ‘Abduh tidak merasa putus asa bahkan usaha menyebarluaskan ide-ide pembaharuan pendidikan terus disebarluaskan kepada para para guru dan civitas akademika al-Azhar. Usaha ‘Abduh tersebut telah membuahkan hasil, sedikit demi sedikit para pemimpin al-Azhar tergerak dan terdorong untuk menata kembali metode-metode belajarnya serta mengajarkan sejarah, geografi, dan beberapa cabang ilmu-ilmu kealaman. Dengan demikian upaya pembaharuan yang ditujukannya untuk al-Azhar meliputi: 1) membentuk Dewan Pimpinan al-Azhar yang terdiri atas ulama-ulama besar dari empat mazhab; 2) menertibkan administrasi al-Azhar dengan menentukan honor yang layak bagi pengajar, membangun ruang khusus untuk Rektor, dan mengangkat para Pembantu Rektor (Purek); dan 3) masa belajar diperpanjang dan masa libur diperpendek.

Wilayah India
Berbeda dengan Turki dan Mesir, pembaharuan pendidikan Islam di India kelihatannya lebih banyak bertujuan menghilangkan diskriminasi pendidikan Islam tradisionalis dengan pendidikan skuler. Pembaharuan pendidikan Islam di India lebih dilatarbelakangi oleh minimnya jumlah ummat Islam –seperlima ummat Hindu di India—yang telah mendapatkan perlakuan tidak baik dari Inggris –saat itu penjajah India--, oleh sebab itu dan dalam rangka menyelematkan harkat, martabat ummat Islam maka perlu dilakukan upaya pembaharuan sikap yang fleksible terhadap penjajah saat itu.
Adapun yang menjadi tokoh pembaharu di India adalah Sayyid Akhmad Khan (1817-1898 M), ia berpendapat bahwa peningkatan kedudukan ummat Islam di India dapat diwujudkan hanya dengan bekerja sama dengan Inggris. Oleh karena itu, Ahmad Khan mengajak ummat Islam India untuk bersikap loyal terhadap Inggris.
Satu diantara sekian banyak persoalan ummat Islam India, adalah rendahnya mutu pendidikan. Menurutnya, mutu pendidikan ummat Islam harus ditingkatkan dengan menerapkan sistem modern yang cukup. Oleh karena itu, ia pertama kali mendirikan lembaga pendidikan modern. Lembaga pendidikan yang pertama kali didirikan adalah Sekolah Inggris Muradabab pada tahun 1860 M. Pada tahun 1864 ia mendirikan Scientific Society untuk memperkenalkan sains Barat kepada rakyat India, khususnya ummat Islam India. Pada tahun yang sama juga ia mendirikan Sekolah Modern di Ghazipur, dan pada tahun 1868 ia membentuk Komite Pendidikan di beberapa daerah di India Utara.
Seperti halnya kekahawatiran tokoh pembaharu Islam di wilayah lain, akan adanya bahaya kesenjangan antara lembaga pendidikan agama (madrasah) dan sekolah-sekolah sekuler yang diasuh pemerintah Inggris, timbul ide dari Sayyid Akhmad Khan untuk mendirikan satu lembaga pendidikan yang didalamnya mengajarkan ilmu pengetahuan umum juga dalam pengajarannya juga tidak melupakan materi-materi keagmaan sebagaimana yang ada di madrasah. Lembaga pendidikan tersebut yang kemudian disebut Muhammedan Anglo Oriental College (M.A.O.C), berdiri pada tahun 1878 M.
Itulah beberapa tokoh dengan segenap sasaran pembaharuannya di bidang pendidikan. Satu upaya pembaharuan pendidikan yang lebih banyak mengadopsi tata cara dan pengetahuan yang datang dari Barat.

ANALISIS DAN KESIMPULAN
Dari uraian di atas, penulis dapat mengambil beberapa catatan sebagai berikut:
Pertama, adanya upaya pembaharuan pendidikan Islam tentu tidak bisa lepas dari lemahnya kondisi pendidikan Islam saat itu, yang mengharuskan para pembaharu Islam bisa mengahadirkan satu paket pendidikan yang sesuai dengan dengan tuntutan zaman, sarat dengan kepentingan IPTEK dan paling tidak bisa diterima masyarakat. Satu diantaranya penyebab kemunduran pendidikan Islam adalah karena lemahnya sisi rasionalitas ummat Islam yang berakibat pada ketidakpekaan ummat terhadap pentingnya arti sebuah ilmu pengetahuan, hal ini kemudian yang juga berakibat pada wawasan sempit dan tidak mau menghargai pendapat orang lain. Hal inilah kemudian yang menyebabkan kondisi pendidikan Islam sangat tragis, lemah, jauh tertinggal dari Barat. Oleh karenanya, bagi kaum modernis, satu kelompok pembaharu yang lebih simpatik dan banyak mengadopsi tata cara berpendapat bahwa Barat atau Eropalah satu-satunya kiblat yang bisa dijadikan referensi demi perbaikan sistem pendidikan Islam.
Kedua, apa yang telah dilakukan para pembaharu di zaman klasik --sebut saja Sultan Ahmad III, Sultan Mahmud II, Mohammad Ali Pasya, Mohammad Abduh, dan Sayyid Akhmad Khan—demi kemajuan pendidikan Islam, merupakan wacana yang harus kita kembamgkan dan kita kaji secara terus menerus. Bagi mereka, tuntutan zaman yang mengharuskan ummat Islam menguasai IPTEK menjadi ilat atau alasan kalau belajar merupakan satu kewajiban kita semua, tanpa harus malu atau memalingkan muka, walaupun itu datangnya dari Barat sekalipun.
Ketiga, upaya pembaharuan pendidikan Islam yang telah dilakukan para tokoh-tokoh di atas, sesungguhnya lebih ditujukan kepada sasaran pendidikan yang tentu disesuaikan dengan ide pembaharuan mereka. Misalnya, di Turki Usmani dengan pembaharunya Sultan Ahmad III, upaya pembaharuan lebih banyak ditujukan pada: pertama, pada pola pemikiran dan sikap yang tadinya anti Barat ke proses kerja sama yang lebih intens denan cara pengiriman duta-duta pelajar ke Eropa. Kedua, pendirian Sekolah-sekolah Modern, seperti Sekolah Teknik Militer dan ketiga, pembantukan percetakan buku, hal ini dilakukan sebagai upaya mempermudah acces informasi dari Barat.
Upaya pembaharuan yang dilakukan Sultan Mahmud II lebih ditujukan pada: 1) mencoba memasukkan ilmu-ilmu umum ke sekolah-sekolah Islam (madrasah); 2) mendirikan sekolah pengetahuan umum, dan model sekolah Barat. Kelihatannya pembaharuan pendidikan Islam yang dilalkukan Sultan Mahmud lebih mengarah pada perombakan model pendidikan yang menyangkut perubahan kurikulum dan metodologi.
Sama seperti halnya di Turki Usmani, Mohammad Ali Pasya –tokoh pembaharu Mesir-- mencoba melakukan upaya pembaharuan pendidikan Islam dengan cara mendirikan model sekolah barat, seperti sekolah kedokteran, sekolah sastera dan lain sebagainya. Bahkan guru-guru yang didatang untuk mengajarpun banyak yang didatangkan dari Eropa. Ini artinya, upaya pembaharuan yang telah dilakukan Ali Pasya lebih banyak pada persoalan pembenahan model sistem pendidikan Islam termasuk di dalamnya persoalan kurikulum. Berbeda dengan Ali Pasya, Mohammad Abduh, yang juga pembaharu Islam Mesir, mencoba melakukan pembenahan pendidikan Islam melalui al-Azhar. Upaya pembaharuannya meliputi, pembenahan kurikulum, materi pengajaran, lamanya jenjang pendidikan, dan menyangkut persoalan sarana prasarana menuju suksesnya proses belajar mengajar yang lebih baik.
Sama seperti upaya-upaya pembahruan yang telah dilakukan di beberapa wilayah Islam yang lain, pembaharuan pendidikan Islam yang coba dilakukan Sayyid Akhmad Khan di India, lebih banyak ditujukan pada upaya pendirian-pendirian model Sekolah Barat, yang tidak mengesampingkan sama sekali nilai-nilai atau pengajaran agama Islam.
Dengan demikian, upaya pembaharuan pendidikan Islam yang dilakukan beberapa tokoh di atas, sesungguhnya lebih banyak melakukan pembenahan sistem pendidikan Islam yang meliputi, perubahan model pengajaran, kurikulum pengajaran –termasuk materi--, dan juga sarana prasarana pendidikan Islam.

Tidak ada komentar: