Senin, Juni 15, 2009

IMPLEMENTASI MULTIKULTURAL DALAM PENDIDIKAN

oleh Fauzan

Pendidikan Multibudaya dalam Ensiklopedi Ilmu-Ilmu Sosial (Kuper, 2000) dimulai sebagai gerakan reformasi pendidikan di AS selama perjuangan hak-hak kaum sipil Amerika keturunan Afrika pada tahun 1960-an dan 1970-an. Perubahan kemasyarakatan yang mendasar seperti integrasi sekolah-sekolah negeri dan peningkatan populasi imigran telah memberikan dampak yang besar atas lembaga-lembaga pendidikan. Pada saat para pendidik berjuang untuk menjelaskan tingkat kegagalan dan putus sekolah murid-murid dari etnis marginal, beberapa orang berpendapat bahwa murid-murid tersebut tidak memiliki pengetahuan budaya yang memadai untuk mencapai keberhasilan akademik.
Banks (1993) telah mendiskripsikan evolusi pendidikan multibudaya dalam empat fase. Yang pertama, ada upaya untuk mempersatukan kajian-kajian etnis pada setiap kurikulum. Kedua, hal ini diikuti oleh pendidikan multietnis sebagai usaha untuk menerapkan persamaan pendidikan melalui reformasi keseluruhan sistem pendidikan. Yang ketiga, kelompok-kelompok marginal yang lain, seperti perempuan, orang cacat, homo dan lesbian, mulai menuntut perubahan-perubahan mendasar dalam lembaga pendidikan. Fase keempat perkembangan teori, triset dan praktek, perhatian pada hubungan antar-ras, kelamin, dan kelas telah menghasilkan tujuan bersama bagi kebanyakan ahli teoritisi, jika bukan para praktisi, dari pendidikan multibudaya. Gerakan reformasi mengupayakan transformasi proses pendidikan dan lembaga-lembaga pendidikan pada semua tingkatan sehingga semua murid, apapun ras atau etnis, kecacatan, jenis kelamin, kelas sosial dan orientasi seksualnya akan menikmati kesempatan yang sama untuk menikmati pendidikan.
Nieto (1992) menyebutkan bahwa pendidikan multibudaya bertujuan untuk sebuah pendidikan yang bersifat anti rasis; yang memperhatikan ketrampilan-ketrampilan dan pengetahuan dasar bagi warga dunia; yang penting bagi semua murid; yang menembus seluruh aspek sistem pendidikan; mengembangkan sikap, pengetahuan, dan ketrampilan yang memungkinkan murid bekerja bagi keadilan sosial; yang merupakan proses dimana pengajar dan murid bersama-sama mempelajari pentingnya variabel budaya bagi keberhasilan akademik; dan menerapkan ilmu pendidikan yang kritis yang memberi perhatian pada bangun pengetahuan sosial dan membantu murid untuk mengembangkan ketrampilan dalam membuat keputusan dan tindakan sosial.
Wacana multikulturalisme untuk konteks di Indonesia menemukan momentumnya ketika sistem nasional yang otoriter-militeristik tumbang seiring dengan jatuhnya rezim Soeharto. Saat itu, keadaan negara menjadi kacau balau dengan berbagai konflik antarsuku bangsa dan antar golongan, yang menimbulkan keterkejutan dan kengerian para anggota masyarakat. Kondisi yang demikian membuat berbagai pihak semakin mempertanyakan kembali sistem nasional seperti apa yang cocok bagi Indonesia yang sedang berubah, serta sistem apa yang bisa membuat masyarakat Indonesia bisa hidup damai dengan meminimalisir potensi konflik.
Menurut Sosiolog UI Parsudi Suparlan, Multikulturalisme adalah konsep yang mampu menjawab tantangan perubahan zaman dengan alasan multikulturalisme merupakan sebuah idiologi yang mengagungkan perbedaaan budaya, atau sebuah keyakinan yang mengakui dan mendorong terwujudnya pluralisme budaya sebagai corak kehidupan masyarakat. Multikulturalisme akan menjadi pengikat dan jembatan yang mengakomodasi perbedaan-perbedaan termasuk perbedaan kesukubangsaan dan suku bangsa dalam masyarakat yang multikultural. Perbedaan itu dapat terwadahi di tempat-tempat umum, tempat kerja dan pasar, dan sistem nasional dalam hal kesetaraan derajat secara politik, hukum, ekonomi, dan sosial.

Implementasi Dalam Dunia Pendidikan
Uraian sebelumnya telah mempertebal keyakinan kita betapa paradigma pendidikan multikulturalisme sangat bermanfaat untuk membangun kohesifitas, soliditas dan intimitas di antara keragamannya etnik, ras, agama, budaya dan kebutuhan di antara kita. Paparan di atas juga memberi dorongan dan spirit bagi lembaga pendidikan nasional untuk mau menanamkan sikap kepada peserta didik untuk menghargai orang, budaya, agama, dan keyakinan lain. Harapannya, dengan implementasi pendidikan yang berwawasan multikultural, akan membantu siswa mengerti, menerima dan menghargai orang lain yang berbeda suku, budaya dan nilai kepribadian. Lewat penanaman semangat multikulturalisme di sekolah-sekolah, akan menjadi medium pelatihan dan penyadaran bagi generasi muda untuk menerima perbedaan budaya, agama, ras, etnis dan kebutuhan di antara sesama dan mau hidup bersama secara damai. Agar proses ini berjalan sesuai harapan, maka seyogyanya kita mau menerima jika pendidikan multikultural disosialisasikan dan didiseminasikan melalui lembaga pendidikan, serta, jika mungkin, ditetapkan sebagai bagian dari kurikulum pendidikan di berbagai jenjang baik di lembaga pendidikan pemerintah maupun swasta. Apalagi, paradigma multikultural secara implisit juga menjadi salah satu concern dari Pasal 4 UU N0. 20 Tahun 2003 Sistem Pendidikan Nasional. Dalam pasal itu dijelaskan, bahwa pendidikan diselenggarakan secara demokratis, tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi HAM, nilai keagamaan, nilai kultural dan kemajemukan bangsa.
Pada konteks ini dapat dikatakan, tujuan utama dari pendidikan multikultural adalah untuk menanamkan sikap simpati, respek, apresiasi, dan empati terhadap penganut agama dan budaya yang berbeda. Lebih jauh lagi, penganut agama dan budaya yang berbeda dapat belajar untuk melawan atau setidaknya tidak setuju dengan ketidak-toleranan (l’intorelable) seperti inkuisisi (pengadilan negara atas sah-tidaknya teologi atau ideologi), perang agama, diskriminasi, dan hegemoni budaya di tengah kultur monolitik dan uniformitas global.
Dalam sejarahnya, pendidikan multikultural sebagai sebuah konsep atau pemikiran tidak muncul dalam ruangan kosong, namun ada interes politik, sosial, ekonomi dan intelektual yang mendorong kemunculannya. Wacana pendidikan multikultural pada awalnya sangat bias Amerika karena punya akar sejarah dengan gerakan hak asasi manusia (HAM) dari berbagai kelompok yang tertindas di negeri tersebut. Banyak lacakan sejarah atau asal-usul pendidikan multikultural yang merujuk pada gerakan sosial Orang Amerika keturunan Afrika dan kelompok kulit berwarna lain yang mengalami praktik diskrinunasi di lembaga-lembaga publik pada masa perjuangan hak asasi pada tahun 1960-an. Di antara lembaga yang secara khusus disorot karena bermusuhan dengan ide persamaan ras pada saat itu adalah lembaga pendidikan. Pada akhir 1960-an dan awal 1970-an, suara-suara yang menuntut lembaga-lembaga pendidikan agar konsisten dalam menerima dan menghargai perbedaan semakin kencang, yang dikumandangkan oleh para aktivis, para tokoh dan orang tua. Mereka menuntut adanya persamaan kesempatan di bidang pekerjaan dan pendidikan. Momentum inilah yang dianggap sebagai awal mula dari konseptualisasi pendidikan multikultural.
Tahun 1980-an agaknya yang dianggap sebagai kemunculan lembaga sekolah yang berlandaskan pendidikan multikultural yang didirikan oleh para peneliti dan aktivis pendidikan progresif. James Bank adalah salah seorang pioner dari pendidikan multikultural. Dia yang membumikan konsep pendidikan multikultural menjadi ide persamaan pendidikan. Pada pertengahan dan akhir 1980-an, muncul kelompok sarjana, di antaranya Carl Grant, Christine Sleeter, Geneva Gay dan Sonia Nieto yang memberikan wawasan lebih luas soal pendidikan multikultural, memperdalam kerangka kerja yang membumikan ide persamaan pendidikan dan menghubungkannya dengan transformasi dan perubahan sosial.
Didorong oleh tuntutan warga Amerika keturunan Afrika, Latin/Hispanic, warga pribumi dan kelompok marjinal lain terhadap persamaan kesempatan pendidikan serta didorong oleh usaha komunitas pendidikan profesional untuk memberikan solusi terhadap masalah pertentangan ras dan rendahnya prestasi kaum minoritas di sekolah menjadikan pendidikan multikultural sebagai slogan yang sangat populer pada tahun 1990-an. Selama dua dekade konsep pendidikan multikultural menjadi slogan yang sangat populer di sekolah-sekolah AS. Secara umum, konsep ini diterima sebagai strategi penting dalam mengembangkan toleransi dan sensitivitas terhadap sejarah dan budaya dari kelompok etnis yang beraneka macam di negara ini.
Ide pendidikan multikulturalisme akhirnya menjadi komitmen global sebagaimana direkomendasi UNESCO pada bulan Oktober 1994 di Jenewa. Rekomendasi itu di antaranya memuat empat pesan. Pertama, pendidikan hendaknya mengembangkan kemampuan untuk mengakui dan menerima nilai-nilai yang ada dalam kebhinnekaan pribadi, jenis kelamin, masyarakat dan budaya serta mengembangkan kemampuan untuk berkomunikasi, berbagi dan bekerja sama dengan yang lain. Kedua, pendidikan hendaknya meneguhkan jati diri dan mendorong konvergensi gagasan dan penyelesaian-penyelesaian yang memperkokoh perdamaian, persaudaraan dan solidaritas antara pribadi dan masyarakat. Ketiga, pendidikan hendaknya meningkatkan kemampuan menyelesaikan konflik secara damai dan tanpa kekerasan. Karena itu, pendidikan hendaknya juga meningkatkan pengembangan kedamaian dalam diri diri pikiran peserta didik sehingga dengan demikian mereka mampu membangun secara lebih kokoh kualitas toleransi, kesabaran, kemauan untuk berbagi dan memelihara.
Konsep pendidikan multikultural dalam perjalanannya menyebar luas ke kawasan di luar AS, khususnya di negara-negara yang memiliki keragaman etnis, ras, agama dan budaya seperti Indonesia. Sekarang ini, pendidikan multikultural secara umum mencakup ide pluralisme budaya. Tema umum yang dibahas meliputi pemahaman budaya, penghargaan budaya dari kelompok yang beragam dan persiapan untuk hidup dalam masyarakat pluralistik.
Pada konteks Indonesia, perbincangan tentang konsep pendidikan multikultural semakin memperoleh momentum pasca runtuhnya rezim otoriter-militeristik Orde Baru karena hempasan badai reformasi. Era reformasi ternyata tidak hanya membawa berkah bagi bangsa kita namun juga memberi peluang meningkatnya kecenderungan primordialisme. Untuk itu, dirasakan kita perlu menerapkan paradigma pendidikan multikultur untuk menangkal semangat primordialisme tersebut.
Secara generik, pendidikan multikultural memang sebuah konsep yang dibuat dengan tujuan untuk menciptakan persamaan peluang pendidikan bagi semua siswa yang berbeda-beda ras, etnis, kelas sosial dan kelompok budaya. Salah satu tujuan penting dari konsep pendidikan multikultural adalah untuk membantu semua siswa agar memperoleh pengetahuan, sikap dan ketrampilan yang diperlukan dalam menjalankan peran-peran seefektif mungkin pada masyarakat demokrasi-pluralistik serta diperlukan untuk berinteraksi, negosiasi, dan komunikasi dengan warga dari kelompok beragam agar tercipta sebuah tatanan masyarakat bermoral yang berjalan untuk kebaikan bersama.
Dalam implementasinya, paradigma pendidikan multikultural dituntut untuk berpegang pada prinsip-prinsip berikut ini:•)Pendidikan multikultural harus menawarkan beragam kurikulum yang merepresentasikan pandangan dan perspektif banyak orang. •)Pendidikan multikultural harus didasarkan pada asumsi bahwa tidak ada penafsiran tunggal terhadap kebenaran sejarah. •)Kurikulum dicapai sesuai dengan penekanan analisis komparatif dengan sudut pandang kebudayaan yang berbeda-beda. •)Pendidikan multikultural harus mendukung prinsip-prinisip pokok dalam memberantas pandangan klise tentang ras, budaya dan agama.
Pendidikan multikultural mencerminkan keseimbangan antara pemahaman persamaan dan perbedaan budaya mendorong individu untuk mempertahankan dan memperluas wawasan budaya dan kebudayaan mereka sendiri.
Beberapa aspek yang menjadi kunci dalam melaksanakan pendidikan multikultural dalam struktur sekolah adalah tidak adanya kebijakan yang menghambat toleransi, termasuk tidak adanya penghinaan terhadap ras, etnis dan jenis kelamin. Juga, harus menumbuhkan kepekaan terhadap perbedaan budaya, di antaranya mencakup pakaian, musik dan makanan kesukaan. Selain itu, juga memberikan kebebasan bagi anak dalam merayakan hari-hari besar umat beragama serta memperkokoh sikap anak agar merasa butuh terlibat dalam pengambilan keputusan secara demokratis.
Sedangkan wacana tentang pendidikan multikultural, secara sederhana pendidikan multikultural dapat didefenisikan sebagai "pendidikan untuk/tentang keragaman kebudayaan dalam meresponi perubahan demografis dan kultural lingkungan masyarakat tertentu atau bahkan dunia secara keseluruhan". Hal ini sejalan dengan pendapat Paulo Freire, pendidikan bukan merupakan "menara gading" yang berusaha menjauhi realitas sosial dan budaya. Pendidikan menurutnya, harus mampu menciptakan tatanan masyarakat yang terdidik dan berpendidikan, bukan sebuah masyarakat yang hanya mengagungkan prestise sosial sebagi akibat kekayaan dan kemakmuran yang dialaminya. Pendidikan multikultural (multicultural education) merupakan respon terhadap perkembangan keragaman populasi sekolah, sebagaimana tuntutan persamaan hak bagi setiap kelompok. Dalam dimensi lain, pendidikan multikultural merupakan pengembangan kurikulum dan aktivitas pendidikan untuk memasuki berbagai pandangan, sejarah, prestasi dan perhatian terhadap orang-orang non Eropa (Hilliard, 1991-1992). Sedangkan secara luas pendidikan multikultural itu mencakup seluruh siswa tanpa membedakan kelompok-kelompoknya seperti gender, etnic, ras, budaya, strata sosial dan agama.
Selanjutnya James Banks (1994) menjelaskan bahwa pendidikan multikultural memiliki lima dimensi yang saling berkaitan: -)Content integration mengintegrasikan berbagai budaya dan kelompok untuk mengilustrasikan konsep mendasar, generalisasi dan teori dalam mata pelajaran/disiplin ilmu. -)The Knowledge Construction Process Membawa siswa untuk memahami implikasi budaya ke dalam sebuah mata pelajaran (disiplin); -)An Equity Paedagogy Menyesuaikan metode pengajaran dengan cara belajar siswa dalam rangka memfasilitasi prestasi akademik siswa yang beragam baik dari segi ras, budaya ataupun sosial. -)Prejudice Reduction Mengidentifikasi karakteristik ras siswa dan menentukan metode pengajaran mereka; -)Melatih kelompok untuk berpartisipasi dalam kegiatan olahraga, berinteraksi dengan seluruh staff dan siswa yang berbeda etnis dan ras dalam upaya menciptakan budaya akademik.
Dalam aktifitas pendidikan manapun, peserta didik merupakan sasaran (obyek) dan sekaligus sebagai subyek pendidikan. Oleh sebab itu dalam memahami hakikat peserta didik, para pendidik perlu dilengkapi pemahaman tentang ciri-ciri umum peserta didik. Setidaknya secara umum peserta didik memiliki lima ciri yaitu; 1)Peserta didik dalan keadaan sedang berdaya, maksudnya ia dalam keadaan berdaya untuk menggunakan kemampuan, kemauan dan sebagainya; 2)Mempunyai keinginan untuk berkembang ke arah dewasa; 3)Peserta didik mempunyai latar belakang yang berbeda. 4)Peserta didik melakukan penjelajahan terhadap alam sekitarnya dengan potensi-potensi dasar yang dimiliki secara individu.
Menurut Tilaar, pendidikan multikultural berawal dari berkembangnya gagasan dan kesadaran tentang "interkulturalisme" seusai perang dunia II. Kemunculan gagasan dan kesadaran "interkulturalisme" ini selain terkait dengan perkembangan politik internasional menyangkut HAM, kemerdekaan dari kolonialisme, dan diskriminasi rasial dan lain-lain, juga karena meningkatnya pluralitas di negara-negara Barat sendiri sebagai akibat dari peningkatan migrasi dari negara-negara baru merdeka ke Amerika dan Eropa. Istilah "pendidikan multikultural" dapat digunakan baik pada tingkat deskriftif dan normatif, yang menggambarkan isu-isu dan masalah-masalah pendidikan yang berkaitan dengan masyarakat multikultural. Lebih jauh ia juga mencakup pengertian tentang pertimbangan terhadap kebijakan-kebijakan dan strategi-strategi pendidikan dalam masyarakat multikultural. Dalam konteks deskriftif ini, maka kurikulum pendidikan multikultural mestilah mencakup subjek-subjek seperti: toleransi; tema-tema tentang perbedaan ethno-kultural dan agama: bahaya diskriminasi: penyelesaian konflik dan mediasi: HAM; demokratis dan pluralitas; kemanusiaan universal dan subjek-subjek lain yang relevan.
Demokrasi merupakan gagasan atau pandangan hidup yang mengutamakan persamaan hak dan kewajiban serta perlakuan yang sama bagi semua warga. Democracy is a social condition of quality and respect for individual within the community. Oleh karena itu menurut Jeremy Bentham, “demokrasi bertujuan memperlakukan semua orang sama dan sederajat”.
Demokrasi dalam pendidikan, ditujukan dengan pemusatan perhatian serta usaha pada peserta didik dalam keadaan sewajarnya (intelegensinya, kesehatannya, keadaan sosial dan sebagainya. Oleh sebab itu demokrasi merupakan pandangan hidup yang mengutamakan persamaan hak dan kewajiban serta perlakuan yang sama dalam proses berlangsungnya kegiatan pendidikan antara pendidik, peserta didik dan pengelola pendidikan.
Menurut Paulo Freire, pendidikan adalah untuk pembebesan bukan untuk penguasaan(dominasi), pendidikan harus menjadi proses pemerdekaan bukan penjinakan sosial budaya (social and cultural domistication). Pendidikan yang membebaskan merupakan proses di mana pendidik mengkondisikan siswa untuk mengenal dan mengungkap kehidupan yang senyatanya secara kritis. Pendidikan yang membebaskan tidak dapat direduksi menjadi sekedar usaha guru untuk melaksanakan kebebasan pada siswa. Pendidikan juga merupakan sebuah pilot project dan agen untuk melakukan perubahan sosial guna membentuk masyarakat baru. Yaitu masyarakat yang di dalamnya mengandung nilai-nilai dasar civil society, yaitu menegakan supremasi hukum, keadilan, persamaan hak dan kewajiban berdasarkan nilai-nilai kemanusiaan, keterbukaan partisipasi, kebebasan yang bertanggung jawab, egaliterianisme, penghargaan berdasarkan prestasi bukan prestise dan tentunya berketuhanan.
Menurut Prof. Dr. H.A.R. Tilaar M.Sc. Ed, pendidikan merupakan proses memanusiakan manusia (humanisasi). Senada dengan ini, menurut DR. Karlina leksono Supelli, Inti pendidikan adalah memanusiakan manusia menurut kodratnya sebagai manusia yang berada dalam dunia, yaitu berada bersama dengan manusia lainnya dan bersama dengan benda-benda baik alamiah maupun non-alamiah. Dengan demikian pendidikan mengemban cita-cita “pemuliaan maanusia”. Jika dalam pendidikan tidak terjadi proses humanisasi atau memanusiakan manusia maka pendidikan akan berubah menjadi proses dehumanisasi. Hal ini sesuai dengan tujuan pendidikan menurut Robert Maynard Hutchins, the aim of an educational system is the same in every age and in every society where such a system can exist: It is to improve man as man .
Menurut Imam Barnadib, pendidikan sebenarnya merupakan usaha untuk mencegah reduksianisme, jika pendidikan jatuh pada reduksianisme, maka ada sesuatu yang salah dalam mewartakan atau memproseskan nilai-nilai pada peserta didik.
Dengan demikian pendidikan yang demokratis akan melahirkan suatu generasi masa depan yang cerdas, terbuka, mandiri dan tidak gamang menghadapi masa depan. Untuk mewujudkan pendidikan yang demokratis ini dapat dilakukan dengan membangun kebebasan berpendapat, membangun tradisi ilmiah yang objektif dan progresif dan membangun kultur dialog.[]

Transformasi IAIN menjadi UIN

Transformasi IAIN ke UIN telah membawa sejumlah konsekuensi penting. Secara akademik, kajian UIN akan mencakup studi-studi Islam dan ilmu-ilmu umum (sekular). Mahasiswa UIN tak lagi hanya dari madrasah, pesantren atau masyarakat pedesaan, tapi kalangan lebih luas dan beragam yang meminati fakultas-fakultas ilmu umum. Secara akademik, mengkaji dua bidang keilmuan yang berbeda dalam satu atap mencuatkan sejumlah masalah. Kehadiran mahasiswa dalam jumlah besar dari pelbagai latar belakang akan mendesak UIN merumuskan kebijakan akademik dan nonakademik yang kompatibel dengan kebutuhan mahasiswa. Salah satu implikasi dari perubahan tersebut adalah bagaimana UIN mampu mengintegrasikan ilmu yang selama ini dalam image masyarakat terpisah antara ilmu agama dan umum.

Senin, Mei 25, 2009

Teori Evolusi Ibn Miskawaih

By Republika Newsroom
Selasa, 26 Mei 2009 pukul 11:36:00

Teori ilmu pengetahuan yang telah kita pelajari tentang kehidupan yang selalu berkembang adalah teori evolusi. Teori itu menjelaskan bahwa dunia ini tidak bersifat statis, namun terus berubah. Sejak dibangku sekolah menengah, kita diperkenalkan dengan Charles Darwin (1809 M-1882 M) yang diklaim peradaban Barat sebagai pencetus teori evolusi.

Sejatinya, peradaban Islam di era kekhalifahan telah mengenal teori evolusi. Sekitar sembilan abad sebelum Darwin mencetuskan teori itu, seorang Ilmuwan Muslim asal Persia bernama Ibnu Miskawaih (932 M-1030 M) telah mengungkapkan teori evolusi itu. Menurut Muhammad Hamidullah dan Afzal Iqbal dalam karyanya bertajuk The Emergence of Islam: Lectures on the Development of Islamic World-view, Intellectual Tradition and Polity, Ibnu Miskawayh merupakan orang pertama yang memaparkan ide tentang evolusi secara jelas dan gamblang.

Menurut Hamidullah, ide teori evolusi telah ditemukan dalam karya Ibnu Miskawah yang berjudul al-Fawz al-Asghar. Ibnu Miskawaih mengemukakan teori evolusi makhluk hidup yang secara mendasar sama dengan Ikhwan al-Shafa’. Teori itu terdiri atas empat tahapan, yakni evolusi mineral, evolusi tumbuhan, evolusi hewan dan evolusi manusia.

Evolusi pertama adalah evolusi mineral, yakni bentuk kehidupan yang dihuni makhluk-makhluk rendah, misalnya batu, air, tanah. Dalam karya tersebut Ibnu Miskawaih mengungkapkan, "(Buku ini) menyatakan bahwa Allah merupakan yang pertama kali menciptakan zat dan diinvestasikan dengan energi untuk perkembangan. Zat diadopsi dari bentuk uap yang dianggap bentuk air karena waktu.''

Hamidullah menambahkan, dalam kitabnya itu, Ibnu Miskawaih juga menjelaskan tahapan selanjutnya dalam perkembangan adalah mineral kehidupan. Berbagai jenis batu dikembangkan oleh waktu. Bentuk tertinggi mereka berasal mirjan (karang/coral). Ini merupakan batu yang memiliki cabang di dalamnya seperti yang pohon. Setelah mineral kehidupan barulah perkembangan vegetasi dimulai.

Proses evolusi kedua yang dijelaskan Ibnu Miskawaih adalah evolusi tumbuhan, yang pada awalnya hanya rerumputan spontan yang muncul, kemudian barulah muncul tanaman, lalu pepohonan tingkat tinggi. Di antara tumbuhan dan hewan terdapat satu bentuk kehidupan tertentu. yang tidak dapat digolongkan tumbuhan maupun hewan, namun memiliki ciri-ciri tumbuhan dan hewan, yaitu koral, dan euglena.

Selain itu, papat Hamidullah, Ibnu Miskawaih juga mengatakan evolusi tumbuhan mencapai puncaknya dengan pohon yang menghasilkan hewan-hewan yang berkualitas. Ini adalah palem kurma. Ini terbagi menjadi jantan dan betina. Pohon itu tak akan layu jika semua cabangnya dipotong, tapi tanaman ini mati ketika kepalanya dipotong.

Ibnu Miskawaih menganggap pohon palem kurma sebagai pohon tertinggi di antara pohon lainnya dan mirip dengan bintang terendah, kemudian lahirlah bintang terendah. Setelah itu, papar Ibnu Misawaih, tahapan berikutnya muncullah evolusi hewan, dimana dicirikan oleh adanya daya gerak dan indera peraba dan pada hewan yang lebih tinggi mulai adanya inteligensi. Hewan paling tinggi adalah kera.

"Teori evolusi bukanlah dicetuskan Darwin, tapi Ibnu Miskwaih seperti yang ditulis di dalam Ikhwan al-Safa,'' papar Hamidullah. Pemikir Muslim dari abad ke-10 nitu menyatakan bahwa monyet berkembang menjadi jenis terendah dari seorang Barbar. Dia kemudian menjadi manusia yang unggul. Manusia menjadi seorang suci dan seorang nabi.

Ibnu Miskawaih mengatakan, semua mahluk bearasal dari Allah SWT dan semua kembali kepada-Nya," papar Hamidullah dan Iqbal. Karena hal itulah, tutur Ibnu Miskawaih, kemunculan evolusi manusia ditandai oleh adanya inteligensi dan daya pemahaman.

Hamidullah dan Iqbal menegaskan, manuskrip Arab al-Fawz al-Asghar yang ditulis Ibnu Miskawaih, telah tersedia di universitas-universitas Eropa pada abad ke-19 M. Karya itu diyakini telah dipelajari Charles Darwin.

Sepanjang hidupnya, Ibnu Miskawaih meninggalkan banyak karya penting, misalnya kitab tahdzibul akhlaq (kesempurnaan akhlak), tartib as-sa’adah (tentang akhlak dan politik), al-siyar (tentang tingkah laku kehidupan), dan jawidan khirad (koleksi ungkapan bijak).


Keruntuhan Teori Evolusi

Teori evolusi yang dikembangkan Charles Darwin dinilai penuh dengan kekeliruan dan kebohongan. Adalah intelektual Muslim dari Turki, Harun Yahya yang menentang teori yang dikembangkan Darwin itu. Lewat karyanya bertajuk The Evolution Deceit (Keruntuhan Teori Evolusi), Harun Yahya mengungkapkan fakta-fakta kekeliruan pemikiran Darwin, yang telah lama menjadi dasar bagi semua filsafat anti-Tuhan (Darwinisme).

"Darwinisme menolak fakta penciptaan, dan lebih jauh lagi, penciptaan Allah, dan selama 140 tahun terakhir filsafat ini telah membuat banyak orang meninggalkan kepercayaannya atau jatuh ke dalam keraguan. Oleh karena itu, sangat penting kiranya menunjukkan bahwa teori ini merupakan suatu kekeliruan dan penipuan, dan menyebarkannya kepada semua orang," tungkap Harun Yahya.

Harun menjelaskan bahwa teori evolusi bukan hanya sekedar konsep biologi, tapi juga memiliki pengaruh. "Teori evolusi telah menjadi pondasi sebuah filsafat yang menyesatkan sebagian besar manusia," ujarnya menegaskan.

Filsafat tersebut, imbuh Harun, adalah materalisme, yang mengandung sejumlah pemikiran palsu tentang mengapa dan bagaimana manusia muncul di muka bumi. Apakah merupakan produk dari evolusi atau diciptakan?

Materialisme mengajarkan bahwa tidak ada sesuatu pun selain materi dan materi adalah esensi dari segala sesuatu, baik yang hidup maupun tak hidup. Berawal dari pemikiran itu, Harun memaparkan bahwa materialisme mengingkari keberadaan Sang Maha Pencipta Allah SWT.

"Dengan mereduksi segala sesuatu ketingkat materi, teori ini mengubah manusia menjadi makhluk yang hanya berorientasi kepada materi dan berpaling dari nilai-nilai moral. Ini adalah awal dari bencana besar yang akan menimpa hidup manusia," ujarnya.

Menurut Harun, makhluk hidup muncul bukan akibat proses evolusi, melainkan muncul tiba-tiba dalam bentuk yang sempurna. Mereka diciptakan sendiri-sendiri. Oleh karena itu, jelaslah bahwa "evolusi manusia" juga merupakan sebuah kisah yang tak pernah terjadi.

Para evolusionis menyusun skenario evolusi manusia dengan menyusun sejumlah tengkorak yang cocok dengan tujuan mereka, berurutan dari yang kecil hungga ynag terbesar, lalu menempatkan dinatara mereka tengkorak manusia yang telah punah.

Menurut skenario ini, manusia dan kera modern memiliki nenek moyang yang sama. Nenek moyang ini berevolusi sejalan dengan waktu. Sebagian dari mereka menjadi kera modern, sedangkan kelompok lain berevolusi melalui jalur yang berbeda, menjadi manusia masa kini.

"Akan tetapi, semua temuan paleontologi, anatomi dan biologi menunjukkan bahwa pernyataan evolusi ini fiktif dan tidak sahih seperti semua pernyataan evolusi lainnya. Tidak ada bukti-bukti kuat dan nyata untuk menunjukkan kekerabatan antara manusia dan kera. Yang ada hanya pemalsuan, penyimpangan, gambar-gambar serta komentar-komentar menyesatkan," jelas Harun.

Menurut Harun, catatan fosil mengisyaratkan kepada kita bahwa sepanjang sejarah, manusia tetap manusia, dan kera tetap kera. Sebagian fosil dinyatakan evolusionis sebagai nenek moyang manusia berasal dari ras manusia yang hidup hingga akhir-akhr ini sekitar 10 ribu tahun lalu dan kemudian menghilang.

Selain itu, banyak orang masa kini memiliki penampilan dan karakteristik fisik yang sama dengan ras-ras manusia yang punah, yang dinyatakan evolusionis sebagai nenek moyang manusia. "Semua ini adalah bukti bahwa manusia tidak pernah mengalami proses evolusi sepanjang sejarah," tuturnya.

Bukti terpenting lainnnya, kata Harun, adalah perbedaan anatomi yang besar antara kera dan manusia, dan tidak satupun di antara perbedaan tersebut muncul melalui proses evolusi.

Evolusionis Rusia, Alexander I Oparin dalam karyanya bertajuk "The Origin of Life" menyatakan teori evolusi Darwin tak bisa menjelaskan asal-usul sel. "Sayangnya, asal usul sel masih menjadi pertanyaan, yang merupakan titik tergelap dari teori evolusi yang utuh," paparnya.

Ketidakjelasan itu mengundang banyak evolusionis melakukan penelitian dan pengamatan untuk membuktikan bahwa sebuah sel dapat terbentuk secara kebetulan. Akan tetapi, setiap upaya hanya memperjelas desain sel yang kompleks sehingga semakin menggugurkan hipotesis mereka.

Profesor Kaluse Dose, kepala Institus Biokimia di Universitas Johanes Gutenberg menyatakan, "Percobaan tentang asal-usul kehidupan di bidang kimia dan evolusi molukuler selama lebih dari 30 tahun, menghasilkan persepsi yang lebih baik tentang kompleksitas asal usul kehidupan di bumi ini, dan bukannya memberikan jawaban yang mereka harapkan. Saat ini, semua diskusi mengenai teori-teori dasar dan penelitian di bidang ini berakhir dengan kebuntuan atau pengakuan atas ketidaktahuan."

Di sini jelas sudah bahwa evolusinis tidak mampu menjelaskan proses pembentukan sel. Baik hukum probabilitas, hukum fisika, mapun kimia tidak memberikan peluang sama sekali bagi pembentukan kehidupan secara kebetulan.

"Jika satu protein saja tidak dapat terbentuk secara kebetulan, apakah masuk akal jika jutaan protein menyatukan diri membentuk sel, lalu milyaran sel secara kebetulan pula menyatukan diri menjadi orga-organ hidup, lalu membentuk ikan, kemudian ikan beralih ke darat menjadi reptil, dan akhirnya menjadi burung? Begitukah cara jutaan spesies di bumi ini terbentuk," kata Harun.

Jumat, April 03, 2009

PEMBARUAN PENDIDIKAN ISLAM

Oleh: Fauzan,


PENDAHULUAN
Pendidikan Islam sesungguhnya telah tumbuh dan berkembang sejalan dengan adanya dakwah Islam yang telah dilakukan Nabi Muhammad saw. Berkaitan dengan itu pula pendidikan Islam memiliki corak dan karakteristik yang berbeda sejalan dengan upaya pembaharuan yang dilakukan secara terus menerus pasca generasi Nabi, sehingga dalam perjalanan selanjutnya pendidikan Islam terus mengalami perubahan –baik dari segi kurikulum (mata pelajaran) , maupun dari segi lembaga pendidikan Islam yang dimaksud. Ini artinya bahwa sesungguhnya adanya upaya perubahan –walaupun sedikit-- benar-benar telah nampak dan terjadi secara alamiah (nature) dalam pendidikan Islam.
Sedikitnya ada 5 fase yang bisa menjadi acuan dalam memahami dan menjelaskan periodisasi pendidikan Islam. Pertama, masa pembinaan pendidikan Islam, kondisi pendidikan Islam yang terjadi pada masa awal kenabian Muhammad, kedua, masa pertumbuhan dan perkembangan pendidikan Islam, yaitu kondisi pendidikan Islam yang terjadi pada masa Nabi Muhammad dan masa Khulafaaurrasyidin; ketiga, masa kejayaan pendidikan Islam, satu kondisi pendidikan Islam yang banyak menggunakan dua pola pemikiran berbeda. Dari pola pemikiran yang bersifat tradisional yang lebih banyak mendasarkan pada kekuatan wahyu (pola sufistik), hingga pola pemikiran rasional yang lebih banyak mementingkan akal pikiran dan empiris. Kedua pola inilah yang menjadi faktor lain timbulnya masa kejayaan Islam. Masa ini terjadi pada pemerintahan Bani Umayyah dan Abbasiyah; keempat, masa kemunduran pendidikan Islam, satu masa dimana kondisi ummat Islam saat itu lebih banyak bertumpu pada cara berfikir tradisional (sufistik) dan tidak lagi mau menggunakan pola berfikir rasional yang telah diambil oleh Barat. Kondisi ini terjadi kira-kira abad ke VIII dan abad ke XIII M, pasca kehancuran Bagdad dan Granada sebagai pusat-pusat pendidikan dan kebudayaan Islam ke tangan raja Hulagu dari Mongolia. Dan yang kelima, masa pembaharuan atau modernisasi pendidikan Islam. Sebuah totalitas kesadaran kolektif ummat Islam terhadap segala kekurangan dan problematika yang dihadapi pendidikan Islam untuk kemudian bisa diperbaiki dan diperbaharui sepadan dengan kemajuan atau minimalnya bisa mengikuti perkembangan yang dilakukan Barat saat itu.
Sebagai sebuah rentetan pembahasan yang saling terkait satu sama lain, pembahasan makalah ini sesungguhnya lebih didasari pada upaya bagaimana kita bisa memahami apasih sesungguhnya yang dimaksud dengan modernisasi atau pembaharuan dalam pendidikan Islam, hal-hal apa saja yang melatar belakangi kemunduran pendidikan Islam, dan faktor-faktor apa saja yang melatar belakangi modernisasi atau pembaharuan pendidikan Islam, serta bagaimana pola-pola modernisasi pendidikan Islam. Kelima sub tema tersebut, kelihatannya sangat menarik untuk kita diskusikan lebih lanjut.

PENGERTIAN MODERNISASI
Secara etimologis, Modernisasi berasal dari kata modern, yang telah baku menjadi bahasa Indonesia dengan arti pembaharuan. Pendek kata, modernisasi juga bisa disebut pembaharuan. Dalam masyarakat Barat “modernisme” mengandung arti pikiran, aliran, gerakan dan usaha-usaha untuk mengubah paham-paham, adat-istiadat, institusi-institusi lama dan lain sebagainya, agar semua itu menjadi sesuai dengan pendapat-pendapat dan keadaan baru yang ditimbulkan oleh ilmu pengetahuan dan teknologi modern. Lahirnya modernisasi atau pembaharuan di sebuah tempat akan selalu beriringan dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang berkembang saat itu. Artinya tidak mungkin akan ada pembaharuan tanpa ada dukungan perkembangan ilmu pengetahuan.
Modernisasi atau pembaharuan bisa diartikan apa saja yang belum dipahami, diterima, atau dilaksanakan oleh penerima pembaharuan, meskipun bukan hal baru bagi orang lain. Pembaharuan biasanya dipergunakan sebagai proses perubahan untuk memperbaiki keadaan yang ada sebelumnya ke cara atau situasi dan kondisi yang lebih baik dan lebih maju, untuk mencapai suatu tujuan yang lebih baik dari sebelumnya. Dengan kata lain, pembaharuan sesungguhnya lebih merupakan upaya atau usaha perbaikan keadaan, baik dari segi cara, konsep, dan serangkaian metode yang bisa diterapkan dalam rangka menghantarkan keadaan yang lebih baik.
Bagi Nurkholish Madjid, atau yang biasa disebut Caknur, menyatakan bahwa modernisasi sebagai rasionalisasi, yaitu proses perombakan pola berfikir dan tata kerja lama yang tidak rasional, dan menggantinya dengan pola berfikir dan tata kerja baru yang rasional. Kontruksi berfikir seseorang yang sering menjadi acuan dalam adanya perombakan gagasan, seringkali menjadi faktor penentu juga dalam rangka melahirkan proses pembahruan secara simultan. Adanya proses pembaharuan tentu saja akan meniscayakan aktifitas yang selalu dibarengi dengan cara berfikir rasional, progresif, dan dinamis.
Merujuk dari beberapa pengertian di atas, kelihatannya ada beberapa komponen yang menjadi ciri suatu aktifitas dikatakan sebagai aktifitas pembaharuan, antara lain: Pertama, baik pembaharuan maupun modernisasi akan selalu mengarah kepada upaya perbaikan secara simultan, kedua, dalam upaya melakukan suatu pembaharuan di sana akan meniscayakan pengaruh yang kuat adanya ilmu pengetahuan dan teknologi, ketiga, upaya pembaharuan biasanya juga dilakukan secara dinamis, inovatif dan progresif sejalan dengan perubahan cara berfikir seseorang.
Dengan demikian, kalau kita kaitkan dengan Pembaharuan Pendidikan Islam akan memberi pengertian bagi kita, sebagai suatu upaya melakukan proses perubahan kurikulum, cara, metodologi, situasai dan kondisi pendidikan Islam dari yang tradisional (ortodox) ke arah yang lebih rasional, dan profesional sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi saat itu. Pengertian tersebut, sesungguhnya lebih merupakan fakta empiris kalau pendidikan Islam masih tradisional, lamban, statis, dan masih belum mampu menyiapkan generasi yang handal dan juga belum siap menghadapi tuntutan zaman.
Gagasan Pembaharuan Pendidikan Islam banyak mempunyai hubungan yang erat dalam gagasan tentang “pembaharuan” pemikiran dan institusi Islam secara keseluruhan. Dengan kata lain, pembaharuan pendidikan Islam kelihatannya tidak bisa dipisahkan dengan kebangkitan gagasan dan program pembaharuan Islam. Hal ini dikarenakan kerangka dasar yang berada dibalik “pembaharuan Islam” secara keseluruhan adalah bahwa “pembaharuan” pemikiran dan kelembagaan Islam merupakan prasyarat bagi kebangkitan kaum muslim di masa modern. Tanpa adanya perombakan pemikiran –sebagaimana dijelaskan di muka—tidak akan bisa terwujud bentuk-bentuk pembaharuan yang lain. Oleh karenanya menurut hemat penulis dalam pembahasan ini nantinya tidak melulu akan membahas pembaharuan pendidikan Islam secara parsial, namun juga akan dibahas secara komprehenship pembaharuan Islam, tentu saja yang masih ada kaitannya dengan pembaharuan di atas.

LATAR BELAKANG KEMUNDURAN PENDIDIKAN ISLAM
Dalam sejarah peradaban Islam, kita tahu bahwa ada dua corak pemikiran yang selalu mempengaruhi cara berfikir Ummat Islam. Pertama, pemikiran tradisionalis (ortodox) yang berciri sufistik dan kedua, pemikiran rasionalis yang berciri liberal, terbuka, inovatif, dan konstruktif. Kedua corak itulah yang kelihatannya pada saat-saat kejayaan Islam berlangsung bersatu padu, saling mengisi satu sama lain. Orang tidak lagi mau membedakan mana yang harus mereka pelajari, yang jelas baik ilmu agama yang bersumber dari wahyu maupun ilmu pengetahuan yang bersumberkan nalar mereka pelajari tanpa ada dikhotomi. Keduanya telah betul-betul dijadikan sebagai sarana dalam menggali ilmu, baik ilmu agama maupun ilmu pengetahuan umum.
Kejayaan ini berlangsung cukup lama, sampai diangkatnya penguasa baru Abbasiyah –al-Mutawakkil—yang bermazhab sunni melakukan pencabutan izin resmi Mu’tazilah sebagai satu aliran resmi kenegaraan yang pernah terjadi pada masa Al-Ma’mun, kondisi terus berlanjut hingga ummat merasa antipati terhadap golongan Mu’tazilah, golongan yang gencar menyebarkan ajaran rasionalis. Sejak itu masyarakat tidak lagi mau mendalami ilmu-ilmu sains dan filsafat. Pemikiran logis dan ilmiah tidak lagi menjadi budaya berfikir masyarakat muslim sampai akhirnya pola berfikir rasional berubah menjadi cara berfikir tradisional yang banyak dipengaruhi oleh ajaran spiritualitas, tahayyul, dan kejumudan.
Antipati terhadap Mu’tazilah juga telah menyebabkan pengawasan yang ketat terhadap penerapan kurikulum di madrasah. Jatuhnya paham Mu’tazilah telah mengangkat kaum konservatif menjadi kuat. Dalam rangka mengembalikan paham ahlussunah sekaligus memperkokoh basis, para ulama sering melakukan kontrol terhadap kurikulum di lembaga-lembaga pendidikan. Pada masa ini, materi pelajaran sangat minim, hanya terbatas pada ilmu-ilmu agama, bahkan pendidikan Islam lebih identik dengan pengajaran tasawuf dan fiqh. Kondisi demikian terus diperburuk seiring dengan runtuhnya kota Baghdad, akibat serangan tentara Mongol pada tahun 1258 M, yang kemudian juga berakibat pada kehancuran kebudayaan dan pusat pendidikan Islam. Artinya, kemunduran ummat Islam sesungguhnya telah diawali sejak runtuhnya aliran Mu’tazilah, yang kemudian berakibat pada cara berfikir ummat Islam yang tidak lagi rasional, tidak lagi mau menganggap ilmu pengetahaun umum sebagai satu kesatuan ilmu yang punya nilai guna. Hal ini terus diperburuk oleh situasi politik negeri Islam yang tidak menentu, yang berakibat pada rapuhnya sistem pemerintahan saat itu, yang kemudian juga berakibat pada lemahnya sektor pendidikan, baik institusi, metodologhi, bahkan tujuan pendidikan Islam semakin kehilangan visi, misi, dan tujuan sebagaimana yang pernah diterapkan di masa-masa kejayaan Islam.

HAL-HAL YANG MELATAR BELAKANGI
PEMBAHARUAN PENDIDIKAN ISKAM
Terpuruknya nilai-nilai pendidikan pendidikan Islam –sebagaimana diterangkan di muka—sesungguhnya lebih dilatarbelakangi oleh kondisi internal Islam yang tidak lagi menganggap ilmu pengetahuan umum sebagai satu kesatuan ilmu yang harus diperhatikan. Sehingga pada proses selanjutnya Ilmu pengetahuan lebih banyak diadopsi bahkan dimanfaatkan secara komperehenship oleh Barat yang pada waktu itu tidak pernah mengenal ilmu pengetahuan.
Kecanggihannya dalam memanfaatkan ilmu pengetahuan telah membuktikan Barat telah beberapa kali memenangkan perang melawan ummat Islam. Bahkan beberapa wilayah Islam telah dikuasai Barat.
Inilah awal mula terjadinya kesadaran ummat Islam akan ketertinggalannya yang begitu jauh. Interospeksi terus dilakukan oleh beberapa pembaharu Islam, untuk kemudian bisa dicarikan apa yang harus kita perbuat dalam mengembalikan kejayaan Islam di masa lalu.
Secara garis besar, ada beberapa faktor yang mendorong terjadinya proses pembaharuan pendidikan Islam, yaitu:
Pertama, Faktor kebutuhan pragmatis ummat Islam yang sangat memerlukan satu sistem pendidikan Islam yang betul-betul bisa dijadikan rujukan dalam rangka mencetak manusia-manusia muslim yang berkualitas, bertaqwa, dan beriman kepada Allah.
Kedua, agama Islam sendiri melalui ayat suci al-Qur’an banyak menyuruh atau menganjurkan ummat Islam untuk selalu, berfikir dan bermetaforma : membaca dan menganalisisis sesuatu untuk kemudian bisa diterapkan atau bahkan bisa menciptakan hal yang baru dari apa yang kita lihat.
Kedua faktor di atas sesungguhnya lebih merupakan faktor-faktor yang bisa dilihat secara internal. Adanya kebutuhan ummat akan kemajuan dan perbaikan nasib dirinya bisa dikatakan sebagai faktor penentu timbulnya proses pembaharuan pendidikan dalam Islam. Disamping agama Islam sendiri melalui al-Qur’an –sebagai sumber ajarannya—banyak menganjurkan kepada ummatnya untuk selalu berinovasi, melakukan pembaharuan di segala bidang.
Ketiga, Adanya kontak Islam dengan Barat, juga merupakan faktor terpenting yang bisa kita lihat. Adanya kontak ini paling tidak telah menggugah dan membawa perubahan paradigmatik ummat Islam untuk belajar secara terus menerus kepada Barat, sehingga ketertinggalan-ketertinggalan yang selama ini dirasakan akan bisa terminimalisir.
Terjadinya kontak hubungan antara Islam dengan Barat merupakan faktor eksternal pembaharuan pendidikan Islam karena ummat Islam dapat melihat kemajuan Barat pada peralatan militer, ilmu pengetahuan dan teknologi. Pendudukan atas Mesir oleh Napoleon Bonaparte pada tahun 1798 merupakan tonggak sejarah bagi ummat Islam untuk mendapatkan kembali kesadaran akan kelemahan dan kemunduran mereka khususnya dalam bidang teknologi. Ekspedisi Napoleon di Mesir bukan hanya menunjukan sepasukan tentara yang kuat dengan peralatan militernya, bahkan juga membawa sepasukan ilmuan dengan seperangkat peralatan ilmiah dua set peralatan. Kondisi inilah yang melatarbelakangi kepada para tokoh pembaharuan Islam akan kemunduran dan keterbelakangan yang selama ini dirasakan.
Oleh karenanya, adanya kontak Islam dengan Barat pada abad 20, setidaknya telah memunculkan dua respon ummat Islam. Pertama, rasa simpatik ummat Islam akan kemajuan yang dialami Barat, telah berimplikasi pada lahirnya suatu gerakan yang mencoba melakukan pembaharuan melalui pengadopsian ilmu pengetahuan, teknologi, dan nilai-nilai Barat ke dalam dunia Islam dengan tujuan membangkitkan kembali Islam ke pentas dunia. Kedua, rasa keprihatinan dari sebagian golongan ummat Islam akan kemunduran-kemunduran yang dialami Islam. Kondisi demikian telah membawa pada satu gerakan yang melihat bahwa kemunduran Islam disebabkan oleh ketidaksetiaan ummat Islam sendiri terhadap ajaran-ajaran Islam yang sesungguhnya. Oleh sebab itu untuk memajukan Islam tidak ada jalan lain kecuali dengan kembali kepada ajaran Islam yang murni berdasarkan ajaran al-Qur’an dan as-Sunah. Gerakan inilah yang kemudian lebih dikenal sebagai kelompok tradisionalis, satu kelompok gerakan pembaharuan dalam Islam yang lebih banyak melihat kejayaan masa lalu, sehingga dalam proses pembaharuannya kelompok ini selalu menganjurkan untuk mengembalikan segala persoalan kepada al-Qur’an dan al-Hadis.

POLA PEMBAHARUAN PENDIDIKAN ISLAM
Dengan memperhatikan beberapa faktor yang menjadi sebab lahirnya pembaharuan pendidikan Islam, maka --menurut penulis-- pada garis besarnya telah terjadi dua pemikiran pembaharuan pendidikan Islam, kedua pola tersebut adalah: 1) pola pembaharuan pendidikan Islam yang berorientasi pada pola pendidikan modern di Barat, yang kemudian kita kenal dengan gerakan modernis, dan 2) pembaharuan pendidikan Islam yang berorientasi pada tujuan pemurnian kembali ajaran Islam.
Pertama, golongan yang berorientasi pada pola pendidikan modern di Barat berpandangan bahwa sumber kekuatan dan kesejahteraan hidup yang diakui oleh Barat adalah dengan jalan mendirikan sekolah-sekolah ala Barat, baik sistem maupun isi pendidikannya. Di samping –dalam rangka memajukan sistem pendidikan Islam—banyak juga pelajar yang dikirim ke Eropa terutama Perancis, untuk menguasai ilmu-ilmu sains dan teknologi modern. Kelompok ini telah menyadari kalau kondisi pendidikan Islam telah mengalami kemunduran yang sangat luar biasa, pendidikan Islam –institusi Madrasah—tidak lagi bisa dipandang sebagai institusi alternatif yang bisa mencetak para lulusan yang handal. Oleh karenanya adanya usaha perbaikan sistem, tujuan, metodologhi, sarana dan prasarana ke arah pendidikan yang lebih baik sudah menjadi satu kebutuhan bagi para pembaharu Islam. Dan bagi kelompok ini, langkah pertama yang harus dilakukan adalah bagaimana ummat Islam bisa belajar dari Barat –dalam pengertian menggali segala ilmu pengetahuan yang mereka miliki--, tidak bosan menggali banyak informasi dari manapun, sehingga ketertinggalan-ketertinggalan yang selama ini kita rasakan –paling tidak-- akan bisa terminimalisir.
Kelihatannya inilah yang pernah dilakukan oleh Mohammad Ali Pasya (1805-1848) sewaktu ia berkuasa di Mesir. Untuk tujuan ini ia banyak mendatangkan guru-guru dari Barat untuk mengajar di sekolah-sekolah militer dan teknik di Mesir. Dalam masa yang sama juga diusahakan penerjemahan buku-buku Barat ke dalam Bahasa Arab, hal ini dimaksudkan agar ummat Islam –yang Arabism-- juga bisa menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi Barat.
Kedua, golongan yang berorientasi pada pembaharuan pendidikan Islam yang berdasarkan sumber Islam yang murni. Bagi mereka terjadinya kemunduran ummat Islam lebih disebabkan oleh ketidaktaatan kaum muslimin dalam menjalankan ajaran Islam menurut semestinya. Pola ini berpandangan behwa sesungguhnya Islam sendiri merupakan sumber bagi kemajuan dan perkembangan peradaban serta ilmu pengetahuan modern, dalam hal ini Islam telah membuktikannya pada masa kejayaan di masa silam. Bagi kelompok ini, adanya kemajuan peradaban dan ilmu pengetahuan yang pernah dialami ummat Islam seharusnya menjadi referensi atau bahkan sandaran kalau sesungguhnya Islam sendiri, melalui ajarannya yakni al-Qur’an dan Hadis bisa memajukan ummatnya tanpa harus berkiblat pada Barat. Justeru kita harus kembali menengok masa-masa silam kejayaan ummat Islam, bukannya malah berbalik memalingkan atau tidak mau menengok sama sekali ke belakang. Demikian pendapat kelompok tradisionalis.

TOKOH DAN SASARAN PEMBAHARUAN PENDIDIKAN ISLAM
Menurut sebagian tokoh-tokoh pembaharu Islam, salah satu penyebab kemunduran ummat Islam adalah karena dan merosotnya kualitas pendidikan Islam. Untuk itu, perlu mengembalikan kekuatan pendidikan Islam sebagai penyangga kemajuan ummat Islam sehingga nanti akan bermunculan gagasan-gagasan tentang pembaharuan pendidikan Islam yang diikuti dengan pelaksanaan perubahan penyelenggaraannya.
Kebangkitan intelektual di Barat telah memberikan kontribusi yang besar terhadap Eropa. Semangat rasionalisme akibat dari adanya informasi pengetahuan yang mereka dapat telah membuat negara-negara Barat menjadi kuat, baik militer, ekonomi, maupun ilmu pengetahuan dan teknologi. Satu kondisi kondushif yang pernah dialami ummat Islam pada masa-masa kejayaannya. Kini kondisi itu seakan berbalik, dimana Barat yang dulunya sangat terbelakang –lemah akan IPTEK-- menjadi kian maju sarat dengang ilmu pengetahuan dan teknologi yang mereka kuasai, sedang Islam tidak lagi memiliki kekuatan yang dapat dibanggakan. Hal ini membuat Islam merasakan kekalahan-kekalahan ketika Barat mulai bangun dan berusaha melepaskan diri dari kekuasaan Islam.
Bila kita merujuk pada dua pola pembaharuan pendidikan Islam di atas –pola pembaharuan yang bercorak Modernis dan Tradisinalis--, kelihatannya tidak sedikit tokoh yang mencoba melakukan pembaharuan dalam bidang ini. Namun, dalam pembahasan ini penulis hanya akan menguraikan secara panjang lebar para tokoh pembaharuan pendidikan Islam yang bercorak modernis, hal ini sejalan dengan pembaharuan pendidikan Islam yang pernah dilakukan pada tiga wilayah kerajaan besar, yakni Kerajaan Usmani, Mesir dan India, yang sudah sangat jelas dengan para tokoh pembaharuannya. Antara lain Sultan Ahmad III (1703-1713 M) dan Mahmud II (1807-1839 M), dua tokoh pembaharu pendidikan Islam dari kerajaan Turki Usmani. Mohammad Ali Pasya (1765-1849 M) dan Mohammad Abduh, dua tokoh yang menjadi representasi pembaharuan di Mesir, serta Sayyid Ahmad Khan, tokoh pembaharu yang menjadi simbol kemajuan ummat Islam di India. Kelima tokoh itulah yang nantinya akan banyak mewarnai tulisan ini.

Wilayah Turki
Pembaharuan pendidikan di dunia Islam pertama kali dimulai di kerajaan Turki Usmani. Faktor yang melatarbelakangi gerakan pembaharuan pendidikan bermula dari kekalahan-kekalahan Kerajaan Usmani dalam peperangan dengan Eropa. Kekalahan tentara Turki pada pertempuran di dekat Wina memaksa Turki menandatangani perjanjian Carlowitz pada tahun 1699 M yang berisi penyerahan daerah Hingaria kepada Austria, daerah Podolia kepada Polandia, dan daerah Azov kepada Rusia. Adapun tokoh yang mencoba melakukan upaya tersebut adalah:
1. Sultan Ahmad III
Adanya kekalahan-kekalahan yang dialami kerajaan Turki Usmani telah menyebabkan Sultan Ahmad III amat perihatin sembari melakukan interospeksi kenapa Kerajaan Turki selalu kalah. Dari itu, tumbuh sikap baru dalam diri kerajaan Turki Usmani untuk bersikap lebih arif terhadap keberadaan Barat. Barat tidak lagi dianggap sebagai musuh yang harus dijauhi. Menurut Ahmad III bila ummat Islam ingin maju maka harus menghargai dan mau menjalin kerja sama untuk mengejar ketinggalan Islam dengan Barat.
Langkah pertama yang dia ambil adalah dengan melakukan pengiriman duta-duta ke Eropa untuk mengamati keunggulan Barat; selanjutnya menyampaikan hasil penelitian tersebut kepada Sultan. Salah satu implikasi dari adanya penelitian tersebut muncul ide dari Sultan untuk mendirikan Sekolah Teknik Militer yang mengajarkan taktik, starategi, serta teknik militer.
Selain militer, Turki mengembangkan ilmu pengetahuan dengan cara mendirikan percetakan di Istambul pada tahun 1727 M. Sebagai cara mempermudah acces buku-buku pengetahuan, mencetak buku-buku tentang ilmu kedokteran, imu kalam, ilmu pasti, astronomi, sejarah, kitab hadis, fiqh, dan tafsir. Selain itu, pada tahun 1717 M beliau mendirikan lembaga terjemah yang bertugas menerjemahkan buku-buku dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan ke dalam bahasa Turki.
Dengan demikian upaya pembaharua pendidikan yang dilakukan Sultan Ahmad III lebih pada upaya menciptakan satu lembaga pendidikan yang didalamnya mengajarkan ilmu-ilmu yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat, bangsa, dan negara. Upaya ini terus dilakukan sampai beliau wafat, dan kemudian digantikan oleh Sultan Mahmud II.

2. Sultan Mahmud II
Upaya pembaharuan yang dilakukan Sultan Mahmud II merupakan upaya kelanjutan pembaharuan yang pernah dilakukan Sultan Ahmad III. Pemabaharuan dalam bidang pendidikan yang coba dilakukannya adalah dengan mencoba memperbaiki kondisi sistem pendidikan madrasah --yang pada saat itu hanya mengajarkan ilmu-ilmu pengetahuan agama—dengan mencoba memasukkan ilmu pengetahuan umum. Namun, sebagaimana halnya di dunia Islam lainnya, sulit sekali bagi Mahmud II untuk mengadakan perubahan kurikulum di madrasah dengan menambahkan pengetahuan umum. Maka akhirnya madrasah tradisional dibiarkan berjalan yang kemudian menjadi tanggung jawab ulama , tetapi disampingnya mendirikan dua sekolah pengetahuan umum: Maktebi Ma’arif (Sekolah Pengetahuan Umum) yang bertujuan mendidik para siswa menjadi pegawai; dan Makteby Ulum U- Edebiye (Sekolah Sastera), sekolah yang sengaja disediakan untuk menyediakan para penterjemah demi keperluan pemerintah. Adapun siswa dari kedua sekolah tersebut adalah siswa terbaik dari madrasah-madrasah tradisional.
Trobosan lain yang coba dilakukan Sultan Mahmud II juga adalah dengan coba mendirikan model-model sekolah Barat. Misalnya pada tahun 1827 ia mendirikan Sekolah Kedokteran (Tilahane-I Amire) dan Sekolah Tekhnik (Muhendisane) dan pada tahun 1834 dibuka Sekolah Akademi Militer. Di samping itu, ia juga mengirimkan lebih kurang 150 pelajar ke luar negeri, yang diharapkan mampu membawa ide-ide baru.
Ide-ide pembaharuan itu telah menunjukan adanya keseriusan Sultan Mahmud II memajukan ummat Islam Turki, dan beliau punya perinsip bahwa upaya pembaharuan tidak akan pernah akan terwujud manakala fondasi dasar yang menjadi tujuan pembaharuan, yakni pola berfikir masyarakat belum berubah. Perubahan pola berfikir tersebut tidak mungkin terwujud kalau kondisi pendidikan Islam sendiri belum diperbaharuahi, baik tujuan, visi dan orientasi, metodologhi, maupun sistem pendidikan secara keseluruhan yang menjadi acuan berhasil atau tidaknya proses pendidikan.

Wilayah Mesir
Tokoh yang mencoba melakukan upaya pembaharuan –khususnya dalam pendidikan—adalah Mohammad Ali Pasya dan Mohammad Abduh.
1. Mohammad Ali Pasya
Dia disebut juga pelopor pembaharuan dan Bapak pembangunan Mesir Modern. Walaupun tidak pandai menulis dan membaca, Mohammad Ali Pasya sangat menyadari pentingnya arti pendidikan dan ilmu pengetahuan bagi kemajuan suatu bangsa. Untuk dalam pemerintahannya, ia mendirikan kementrian pendidikan dan lembaga-lembaga pendidikan, membuka Sekolah Teknik (1836), Sekolah Kedokteran (1827), Sekolah Apoteker (1829), Sekolah Pertambangan (1834), Sekolah Pertanian (1836), dan Sekolah Penerjemahan (1836). Kebijakan dan gebrakan yang diambil Mohammad Ali Pasya lebih banyak mengadopsi tata cara dan model yang dilakukan Barat. Kecendrungan ini bisa dilihat dari model dan sistem pendidikan yang diterapkan di Mesir, guru-gurunya bahkan tenaga ahli dalam rangka memajukan pendidikan pun lebih banyak di impor dari negeri Barat.
Masih dalam konteks melakukan upaya pembaharuan dalam bidang pendidikan, Ali Pasya juga mengirim siswa-siswa untuk belajar ke Italia, Prancis, Inggris, dan Austria. Bahkan kalau menurut Pilip K. Hitti, antara tahun 1823 dan 1844, sekitar 311 pelajar yang dikirim ke Eropa, jumlah yang kelihatannya begitu banyak dan belum pernah terjadi atau pernah dilakukan para pembaharu-pembaharu yang lain.
Berbagai terobosan yang dilakukan Mohammad Ali Pasya di Mesir telah banyak memberikan kontribusi besar terhadap dunia pendidikan Islam. Gerakan pembaharuannya telah memperkenalkan ilmu pengetahuan dan teknologi Barat kepada ummat Islam,dan sampai pada satu waktu dapat menyingkap awan hitam yang menyelimuti pola pikir dan sikap keagamaan, yang juga menjadi embrio kelahiran para tokoh Muslim, --seperti Muhammad Abduh, Rasyid Ridho, Rifa’ah Badawi Rafi’ al-Tahtawi, dan Hasan al-Bana—yang berpengetahuan luas, berwawasan modern, dan tidak berpandangan sempit.

2. Mohammad Abduh
Upaya pembaharuan di bidang pendidikan yang telah dilakukan Mohammad Ali Pasya, satu sisi telah memberi kontribusi posistif terhadap lahirnya suasana pendidikan Islam yang dinamis bahkan dari adanya pembaharuan ini pula telah banyak lahir intelektual muslim yang berwawasan luas baik pengetahuan agama maupun ilmu pengetahuan umum, namun pada sisi yang lain adanya pembaharuan pendidikan Islam telah membawa kondisi pendidikan Islam –dalam hal ini Madrasah—hanya bisa mengajarkan ilmu-ilmu keislaman, akibatnya lulusan Madrasah hanya paham akan ilmu keislamannya saja, dan hal ini tentu akan membawa para lulusan yang berfikiran sempit. Adanya dualisme pendidikan pada masa ini betul-betul telah menjadi kenyataan yang perlu penanganan serius.
Sosok Muhammad Abduh adalah satu dari sekian banyak pembaharu yang merasakan adanya dualisme tersebut, dan hal ini kalau dibiarkan akan membawa pada keberadaan pendidikan Islam (baca: Madrasah) yang tidak lagi diminati serta tidak bisa mencetak para lulusan yang handal. Oleh karenanya, dalam merespon kondisi demikian, Muhammad Abduh mencoba melakukan upaya pembaharuan pendidikan di al-Azhar. Menurut pandangannya al-azhar perlu dimasukkan ilmu-ilmu modern agar ulama-ulama Islam mengerti kebudayaan modern dan dengan demikian dapat mencari penyelesaian yang baik bagi persoalan yang timbul dalam zaman modern. Dengan memasukkan ilmu pengetahuan modern –sebagai syarat menguasai IPTEK guna kelangsunan pembangunan Islam-- ke dalam al-Azhar dan dengan memperkuat pendidikan agama –sebagai bekal tuntunan dan perbaikan moralitas ummat-- di sekolah-sekolah pemerintah, paling tidak akan bisa melahirkan para ilmuan yang tidak kosong akan ilmu pengetahuan agama, dan juga akan terwujud ulama-ulama yang tidak buta akan ilmu pengetahuan umum, sehingga para lulusan Sekolah Pemerintah maupun al-Azhar tidak lagi parsial dalam memahami ilmu (split personality).
Baginya, isu paling penting yang harus menjadi perhatian ‘Abduh sepanjang hayat dan kariernya adalah pembaharuan pendidikan. Menurut pandangannya, pendidikan itu penting sekali, sedangkan ilmu pengetahuan itu wajib dipelajari. Sesuatu yang selalu ‘Abduh fikirkan adalah bagaimana mencari alternatif untuk keluar dari stagnasi yang dihadapinya sekolah agama di Mesir, yakni pendidikan al-Azhar. Abduh berpendapat bahwa pendidikan yang diamatinya cenderung menghasilkan lulusan dan masyarakat yang jumud, tidak transparan, statis, tidak ada perubahan. Oleh karena paham jumud ini, maka ummat Islam tidak menghendaki perubahan, dan tidak mau menerima perubahan. Hanya dengan meningkatkan mutu pendidikan Islam dan mengemukakan kembali ajarn-ajaran dasar Islam dengan bahasa yang jelas dan tegas, pengaruh-pengaruh yang merusak, baik yang bersifat animistik, maupun materialistik, dapat keluar dan lenyap.
Bagi Mohammad Abduh, yang harus diperjuangkan dalam satu sistem pendidikan adalah pendidikan yang fungsional, yang meliputi pendidikan universal bagi semua anak, laki-laki maupun perempuan. Semuanya harus punya dasar membaca, menulis, berhitung dan harus mendapatkan pendidikan agama. Isi dan lama pendidikan haruslah beragam, sesuai dengan tujuan dan profesi yang dikehendaki pelajar. ‘Abduh percaya bahwa anak petani dan tukang harus mendapat pendidikan umum, agar mereka dapat meneruskan jejak ayah mereka.
Dalam sistem pendidikan ‘Abduh, siswa sekolah menengah haruslah mereka yang ingin mempelajari syari’at, militer, kedokteran, atau ingin bekerja pada pemerintah, kurikulumnya meliputi Pengantar Pengetahuan, Seni Logika, Perinsip Penalaran, Teks tentang Dalil Rasional, serta teks sejarah yang meliputi berbagai penaklukan dan penyebaran Islam.
Masih dalam konteks pembaharuan, Abduh berusaha mendirikan Komite Perbaikan Administrasi al-Azhar pada tahun 1895, dan berhasil melaksanakan pembaharuan-pembaharuan administratif yang bermanfaat, namun usahanya untuk mengembangkan kurikulum di al-Azhar menghadapi perlawanan dari para ulama bahkan ia dituduh akan menghidupkan kembali pemikiran-pemikiran Mu’tazilah oleh para ulama al-Azhar seperti Syekh Alaisy. Dalam rangka merubah sistem pendidikan tersebut, Muhammad Abduh hanya mempunyai ide yang tidak bisa direalisir hanya karena benturan dari kelompok ulama konservatif yang belum memahami betul manfaat dari adanya pembaharuan. Oleh sebab itulah, ia merintis pendirian lembaga pendidikan Majlis Pengajaran Tinggi yang bisa mengajarkan kedua ilmu tersebut.
Kondisi demikianpun dihadapinya dengan sabar, ‘Abduh tidak merasa putus asa bahkan usaha menyebarluaskan ide-ide pembaharuan pendidikan terus disebarluaskan kepada para para guru dan civitas akademika al-Azhar. Usaha ‘Abduh tersebut telah membuahkan hasil, sedikit demi sedikit para pemimpin al-Azhar tergerak dan terdorong untuk menata kembali metode-metode belajarnya serta mengajarkan sejarah, geografi, dan beberapa cabang ilmu-ilmu kealaman. Dengan demikian upaya pembaharuan yang ditujukannya untuk al-Azhar meliputi: 1) membentuk Dewan Pimpinan al-Azhar yang terdiri atas ulama-ulama besar dari empat mazhab; 2) menertibkan administrasi al-Azhar dengan menentukan honor yang layak bagi pengajar, membangun ruang khusus untuk Rektor, dan mengangkat para Pembantu Rektor (Purek); dan 3) masa belajar diperpanjang dan masa libur diperpendek.

Wilayah India
Berbeda dengan Turki dan Mesir, pembaharuan pendidikan Islam di India kelihatannya lebih banyak bertujuan menghilangkan diskriminasi pendidikan Islam tradisionalis dengan pendidikan skuler. Pembaharuan pendidikan Islam di India lebih dilatarbelakangi oleh minimnya jumlah ummat Islam –seperlima ummat Hindu di India—yang telah mendapatkan perlakuan tidak baik dari Inggris –saat itu penjajah India--, oleh sebab itu dan dalam rangka menyelematkan harkat, martabat ummat Islam maka perlu dilakukan upaya pembaharuan sikap yang fleksible terhadap penjajah saat itu.
Adapun yang menjadi tokoh pembaharu di India adalah Sayyid Akhmad Khan (1817-1898 M), ia berpendapat bahwa peningkatan kedudukan ummat Islam di India dapat diwujudkan hanya dengan bekerja sama dengan Inggris. Oleh karena itu, Ahmad Khan mengajak ummat Islam India untuk bersikap loyal terhadap Inggris.
Satu diantara sekian banyak persoalan ummat Islam India, adalah rendahnya mutu pendidikan. Menurutnya, mutu pendidikan ummat Islam harus ditingkatkan dengan menerapkan sistem modern yang cukup. Oleh karena itu, ia pertama kali mendirikan lembaga pendidikan modern. Lembaga pendidikan yang pertama kali didirikan adalah Sekolah Inggris Muradabab pada tahun 1860 M. Pada tahun 1864 ia mendirikan Scientific Society untuk memperkenalkan sains Barat kepada rakyat India, khususnya ummat Islam India. Pada tahun yang sama juga ia mendirikan Sekolah Modern di Ghazipur, dan pada tahun 1868 ia membentuk Komite Pendidikan di beberapa daerah di India Utara.
Seperti halnya kekahawatiran tokoh pembaharu Islam di wilayah lain, akan adanya bahaya kesenjangan antara lembaga pendidikan agama (madrasah) dan sekolah-sekolah sekuler yang diasuh pemerintah Inggris, timbul ide dari Sayyid Akhmad Khan untuk mendirikan satu lembaga pendidikan yang didalamnya mengajarkan ilmu pengetahuan umum juga dalam pengajarannya juga tidak melupakan materi-materi keagmaan sebagaimana yang ada di madrasah. Lembaga pendidikan tersebut yang kemudian disebut Muhammedan Anglo Oriental College (M.A.O.C), berdiri pada tahun 1878 M.
Itulah beberapa tokoh dengan segenap sasaran pembaharuannya di bidang pendidikan. Satu upaya pembaharuan pendidikan yang lebih banyak mengadopsi tata cara dan pengetahuan yang datang dari Barat.

ANALISIS DAN KESIMPULAN
Dari uraian di atas, penulis dapat mengambil beberapa catatan sebagai berikut:
Pertama, adanya upaya pembaharuan pendidikan Islam tentu tidak bisa lepas dari lemahnya kondisi pendidikan Islam saat itu, yang mengharuskan para pembaharu Islam bisa mengahadirkan satu paket pendidikan yang sesuai dengan dengan tuntutan zaman, sarat dengan kepentingan IPTEK dan paling tidak bisa diterima masyarakat. Satu diantaranya penyebab kemunduran pendidikan Islam adalah karena lemahnya sisi rasionalitas ummat Islam yang berakibat pada ketidakpekaan ummat terhadap pentingnya arti sebuah ilmu pengetahuan, hal ini kemudian yang juga berakibat pada wawasan sempit dan tidak mau menghargai pendapat orang lain. Hal inilah kemudian yang menyebabkan kondisi pendidikan Islam sangat tragis, lemah, jauh tertinggal dari Barat. Oleh karenanya, bagi kaum modernis, satu kelompok pembaharu yang lebih simpatik dan banyak mengadopsi tata cara berpendapat bahwa Barat atau Eropalah satu-satunya kiblat yang bisa dijadikan referensi demi perbaikan sistem pendidikan Islam.
Kedua, apa yang telah dilakukan para pembaharu di zaman klasik --sebut saja Sultan Ahmad III, Sultan Mahmud II, Mohammad Ali Pasya, Mohammad Abduh, dan Sayyid Akhmad Khan—demi kemajuan pendidikan Islam, merupakan wacana yang harus kita kembamgkan dan kita kaji secara terus menerus. Bagi mereka, tuntutan zaman yang mengharuskan ummat Islam menguasai IPTEK menjadi ilat atau alasan kalau belajar merupakan satu kewajiban kita semua, tanpa harus malu atau memalingkan muka, walaupun itu datangnya dari Barat sekalipun.
Ketiga, upaya pembaharuan pendidikan Islam yang telah dilakukan para tokoh-tokoh di atas, sesungguhnya lebih ditujukan kepada sasaran pendidikan yang tentu disesuaikan dengan ide pembaharuan mereka. Misalnya, di Turki Usmani dengan pembaharunya Sultan Ahmad III, upaya pembaharuan lebih banyak ditujukan pada: pertama, pada pola pemikiran dan sikap yang tadinya anti Barat ke proses kerja sama yang lebih intens denan cara pengiriman duta-duta pelajar ke Eropa. Kedua, pendirian Sekolah-sekolah Modern, seperti Sekolah Teknik Militer dan ketiga, pembantukan percetakan buku, hal ini dilakukan sebagai upaya mempermudah acces informasi dari Barat.
Upaya pembaharuan yang dilakukan Sultan Mahmud II lebih ditujukan pada: 1) mencoba memasukkan ilmu-ilmu umum ke sekolah-sekolah Islam (madrasah); 2) mendirikan sekolah pengetahuan umum, dan model sekolah Barat. Kelihatannya pembaharuan pendidikan Islam yang dilalkukan Sultan Mahmud lebih mengarah pada perombakan model pendidikan yang menyangkut perubahan kurikulum dan metodologi.
Sama seperti halnya di Turki Usmani, Mohammad Ali Pasya –tokoh pembaharu Mesir-- mencoba melakukan upaya pembaharuan pendidikan Islam dengan cara mendirikan model sekolah barat, seperti sekolah kedokteran, sekolah sastera dan lain sebagainya. Bahkan guru-guru yang didatang untuk mengajarpun banyak yang didatangkan dari Eropa. Ini artinya, upaya pembaharuan yang telah dilakukan Ali Pasya lebih banyak pada persoalan pembenahan model sistem pendidikan Islam termasuk di dalamnya persoalan kurikulum. Berbeda dengan Ali Pasya, Mohammad Abduh, yang juga pembaharu Islam Mesir, mencoba melakukan pembenahan pendidikan Islam melalui al-Azhar. Upaya pembaharuannya meliputi, pembenahan kurikulum, materi pengajaran, lamanya jenjang pendidikan, dan menyangkut persoalan sarana prasarana menuju suksesnya proses belajar mengajar yang lebih baik.
Sama seperti upaya-upaya pembahruan yang telah dilakukan di beberapa wilayah Islam yang lain, pembaharuan pendidikan Islam yang coba dilakukan Sayyid Akhmad Khan di India, lebih banyak ditujukan pada upaya pendirian-pendirian model Sekolah Barat, yang tidak mengesampingkan sama sekali nilai-nilai atau pengajaran agama Islam.
Dengan demikian, upaya pembaharuan pendidikan Islam yang dilakukan beberapa tokoh di atas, sesungguhnya lebih banyak melakukan pembenahan sistem pendidikan Islam yang meliputi, perubahan model pengajaran, kurikulum pengajaran –termasuk materi--, dan juga sarana prasarana pendidikan Islam.

CIPTAKAN SUASANA BACA SI KECIL

Republika, 2 April 2009

CORBIS.COMMEMBACA BERSAMA: Biasakan si kecil untuk membaca dan beri waktu khusus untuk membaca bersama dengan orang tua

JAKARTA - Rumah yang diisi buku-buku bacan adalah satu cara baik mendidik anak menjadi antusias dan lancar dalam membaca. Lalu buku macam apa yang harusnya anda punya? Tanyalah kepada si kecil anda, apa minat dan ketertarikan mereka. Jika anak-anak terlalu muda untuk memilih, anda bisa mengisi perpustakaan rumah anda dengan buku-buku yang masuk segala golongan usia anak.

Ada beberapa tips untuk membantu orang tua, pertama masukkan berbagai variasi pilihan buku bagi anak. Koleksi pula buku-buku papan atau buku dengan kaca dan tekstur berbeda-beda untuk balita. Sementara anak lebih dua akan menikmati berbagai macam fiksi, nonfiksi, puisi termasuk kamus dan berbagai macam buku referensi lain.

Anak-anak sebenarnya dapat memahami cerita, namun kadang tak bisa dilakukan bila mereka membacanya sendiri. Jika ada buku menarik yang menantang anak anda, cobalah dengan membaca bersama. Anak-anak lebih muda dapat melihat ilustrasi dan gambar-gambar untuk memahami dan menanyakan beberapa hal ketika mereka membaca.

Dan juga, jangan batasi materi bacaan hanya seputar buku. Anak-anak bisa jadi dapat menikmati, majalah, buku audio, kartu pos dari saudara, album foto, koran, komik, bahkan internet. Meski tentunya orang tua harus selalu mengawasi keamanan isi bacaan yang sesuai usia anak-anak.

Pilihlah materi bacaan yang mudah dibawa. Simpanlah buku-buku berbobot dengan mainan agar anak muda mengeksplorasi. Buku-buku dekat meja dan kursi tinggi sangat membantu mengalihkan perhatian anak kecil di saat yang tepat. Buku plastik pun dapat dibawa ke kamar mandi. Simpan pula buku-buku dekat kursi yang nyaman atau sofa dimana anda dapat memeluk anak anda setelah acara makan dan tidur siang.

Untuk menciptakan suasana berbeda, bila perlu, ciptakan ruang khusus untuk membaca, terutama bila ruang di rumah anda mengijinkan. Ketika anak-anak tumbuh, tetap taruh-taruh buku sesuai usia dan majalah di raknya sehingga mereka mampu meraih bacaan favorit di rumah. Buat rak dapat terlihat dan aturlah buku sebaik mungkin sesuai kategorisasi. Tempatkan beberapa buku dengan cover menghadap depan sehingga mudah dilihat. Letakkan keranjang berisi buku-buku atau majalah di dekat tempat favorit mereka saat duduk. Sebagai orang tua ada baiknya membuat pojok membaca yang nyaman serta mendorong anak-anak menggunakannya dengan menjadwalkan "waktu pojok-membaca" setiap hari.

Pastikan area membaca memiliki cukup penerangan. Agar tak bosan ubahlah materi bacaan, menambah buku-buku sesuai musim, merotasi tatanan buku dalam rak, memasukkan buku-buku yang berkaitan dengan minat anak atau pelajaran di sekolah. Sangat menarik lagi bila pojok-membaca diberi hiasan hasil karya si anak. Jangan lupa pula taruh pemutar musik di dekat koleksi buku audio anda.

Salah satu cara mendorong anak gemar membaca iala mengajak mereka menulis. Biasakan mereka menulis, bisa dengan membuat pusat seni dan menulis kecil dalam rumah di mana anak merasa nyaman berkreasi membuat tulisan, puisi, poster dan sebagainya. Anak-anak selalu menyukai membaca hasil tulisan yang mereka buat atau membagi karya mereka dengan keluarga dan teman.

Kiat lain tak kalah penting adalah pikirkan tentang atmosfer. Beri waktu pad anak untuk diam beberapa saat setiap hari untuk membaca atau menulis. Batasi kebiasaan menghabiskan waktu di depan layar--termasuk TV, komputer, video games--demi memastikan mereka memiliki waktu untuk membaca.

Membacalah bersama dengan anak anda. Ini tak ada salahnya, justru kebiasaan ini akan semakin melekat, sebab anak menganggap itu adalah kebiasaan keluarga. Tawarkan ia membaca dengan suara keras, atau minta anak anda membacakan topik menarik dari majalah favoritnya. Buatlah kebiasaan berkumpul untuk kegiatan membaca dan berbagi waktu sunyi bersama-sama./parents.org/itz

TUNJANGAN SERTIFIKASI & PROFESI GURU

Republika, 3 April 2009

BANYUMAS -- Menteri Pendidikan Nasional Bambang Sudibyo, membantah bahwa tunjangan sertifikasi atau tunjangan profesi yang selama ini sudah dinikmati para guru, akan dihentikan. ''Tidak ada penghentian. Tunjangan sertifikasi bagi para guru tetap akan diberikan seperti biasa,'' jelas Mendiknas, kepada wartawan di Purwokerto, Jawa Tengah, Jumat (3/4).

Mendiknas mengakui, menteri keuangan memang telah mengeluarkan SK yang menyatakan bahwa tunjangan profesi atau tunjangan sertifikasi akan dihentikan bila sampai Juni tidak juga diterbitkan peraturan pemerintah atau peraturan presiden mengenai penyaluran tunjangan profesi.

Namun Mendiknas menyebutkan, surat Menkeu itu hanya sekadar 'gertak sambal' saja, agar Departamen Pendidikan Nasional segera mengurus PP atau Perpres yang mengatur masalah tunjangans sertifikasi. ''Itu hanya gertak sambal saja. Saya tahu 'gayanya' Menkeu. Beliau memang sangat hati-hati kalau mengeluarkan uang negara,'' katanya.

Mendiknas sendiri menyebutkan, mengenai rancangan PP atau Perpres mengenai masalah pemberian tunjangan profesi bagi para guru ini, sebenarnya sudah selesai disusun. Menurutnya, rancangan PP tersebut akan segera diajukan ke sekretariat negara agar segera disahkan menjadi PP.

'Jadi tak ada masalah. Tak mungkin tunjangan sertifikasi itu dihentikan, atau bahkan bagi yang sudah menerima, akan diminta dikembalikan. Sabar saja, PP yang mengatur masalah pemberian tunjangan profesi ini sebentar lagi pasti segera keluar,'' jelasnya.

Seperti diberitakan, kalangan guru disejumlah daerah saat ini dilanda keresahan menyusul keluarkan SK Menteri Keuangan yang akan menghentikan bahkan menarik kembali tunjangan profesi guru, bila hingga Juni mendatang tidak juga ada PP atau Perpres yang mengatur masalah itu. Di Temanggung, sejumlah guru bahkan menyatakan akan melakukan aksi mogok bila tunjangan profesi ini sampai dihentikan.

Terkait masalah ini, Sekretaris PGRI Banyumas, Takdir, menyebutkan, PP mengenai masalah pemberian tunjangan profesi ini memang diperlukan sebagai landasan hukum teknis yang mengatur masalah pemberian tunjangan tersebut. ''Kita berharap pemerintah segera mengeluarkan peraturan tersebut, sehingga tidak terjadi hal-hal yang dapat merugikan para guru,'' jelasnya.

Takdir sendiri mengaku heran dengan adanya surat edaran Menkeu yang menyatakan akan menarik kembali tunjangan sertifikasi yang sudah diberikan pada guru. Hal ini karena masalah pemberian tunjangan sertifikasi sebenarnya sudah diatur dalam UU. Hanya peraturan pelaksanaannya saja yang belum ada. ''Karena sudah ada UU-nya, seharusnya tidak mungkin kalau tunjangan uang sudah diterima guru ditarik lagi,'' jelasnya.

Meski demikian Takdir mengaku, masalah pemberian tunjangan sertifikasi bagi guru ini masih ada beberapa yang belum tepat sasaran. Hal ini karena belum tentu guru yang menerima dana sertifikasi tersebut adalah guru yang berkinerja baik.

Namun menurut Takdir, hal ini juga tak lepas dari kebijakan pemerintah yang antara lain mensyaratkan adanya portofolio bagi guru yang lulus sertifikasi. Namun menurutnya, kelemahan ini bukan berarti kebijakan pemberian tunjangan sertifikasi dicabut. wid/ism

Jumat, Maret 06, 2009

SEJARAH PENDIDIKAN ISLAM:

Kajian Awal tentang Definisi, Scope dan Kegunaan

Oleh Fauzan



Menurut bahasa, sejarah atau history dalam bahasa Inggris berarti pengalaman masa lampau dari ummat manusia (the past exsperience of mankind); dan tarikh, sirah dalam bahasa Arab berarti ketentuan masa lalu atau waktu. Sejarah adalah sesuatu yang pernah/telah terjadi di masa lampau yang dalam perjalanannya kejadian tersebut direkam, dicatat sehingga rekaman masa lalu sering kali menjadi i’tibar atau cermin bagi generasi sesudahnya. Dalam bahasa Indonesia sendiri, sejarah berarti silsilah, asal usul (keturunan), kejadian, peristiwa yang benar-benar terjadi pada masa lampau. Oleh karena itu, sejarah Islam adalah ilmu yang membahas tentang peristiwa-peristwa yang terjadi dalam masyarakat Islam sejak pertama kali datangnya Islam, atau bahkan sejak menjelang kelahiran Nabi Muhammad, sampai masa kini. Berbeda dengan ilmu-ilmu agama Islam yang sudah disebutkan di atas, ilmu ini sebenarnya bukan merupakan substansi dari ilmu agama itu sendiri, melainkan catatan cerita dan analisa terhadap peristiwa yang terjadi dalam masyarakat Islam, termasuk bagaimana ajaran agama itu difahami, dikembangkan dan dipraktekkan dalam dunia realitas. Pada masa kenabian, ilmu ini termasuk substansi dari ilmu agama; demikian pula, peristiwa-peristiwa pada masa itu yang diabadikan oleh al-Quran. Bagi Abuddin Nata, kedua pengertian tersebut masih terkesan pada penekanan persoalan materi yang disampaikan, padahal menurutnya sejarah juga harus dilihat secara komprehenship, peristiwa sejarah harus dilihat siapa yang melakukan (who), apa yang ditinggalkan (what), di mana (where), kapan (when), dan apa yang melatarbelakngi lahirnya suatu peritiwa (why). Artinya, suatu peristiwa atau kejadian dalam konteks sejarah harus betul-betul dianalisa secara mendalam siapa, apa, di mana, dan kenapa suatu kejadian sampai terjadi, sehingga peristiwa sejarah tidak lagi hanya diketahui dari sisi waktu namun lebih jauh dari itu semua, sejarah juga bias dibuktikan nilai kebenarannya.
Sementara itu Sayid Qutub mengatakan bahwa sejarah bukanlah peristiwa, melainkan penafsiran terhadap peristiwa-peristiwa dan pengertian mengenai hubungan-hubungan nyata dan tidak nyata, yang menjalin seluruh bagian serta memberinya dinamisme dalam waktu dan tempat. Namun realitasnya, sejarah adalah science conjectural atau pengetahuan dugaan. Kebenaran sejarah tidak seperti kebenaran ilmu pengetahuan yang lain, yang bisa dibuktikan dengan eksperimental. Sejarah lebih banyak bersifat subyektif yang dipengaruhi oleh jiwa sang penulis, sementara matematika, fisika, dan ilmu pengetahuan eksak lainnya bersifat mutlak dan pasti kebenarannya. Pendapat itulah yang kemudian melatarbelakangi perbedaan sisi pandang dalam memotret kejadian masa lampau (sejarah). Kejadian masa lalu hanya dapat dibuktikan dengan manuskrip-manuskrip, lembaran-lembaran tulisan, prasasti, relive, maupun senjata peninggalan dari pelaku sejarah. Sehingga timbul banyak interpretasi subyektif dalam menanggapi berbagai bukti sejarah tersebut. Terlepas dari persoalan tersebut, upaya penelusuran sejarah merupakan sesuatu yang harus diketahui dan dikaji secara objektif, cermat, mendalam, dan komprehenship dengan tidak berpihak kepada pendapat satu pendapat.
Merujuk pada pengertian di atas, maka Sejarah Pendidikan Islam berarti kejadian, peristiwa, atau keterangan tentang pendidikan Islam secara utuh, --menyangkut sisi kurikulum, metode pembelajaran, lembaga pendidikan, konsep atau ide, dan tokoh pendidikan Islam-- sejak pertama kali Islam disampaikan Nabi Muhammad Saw hingga sekarang ini. Para ahli sepakat bahwa sejarah pendidikan Islam sesungguhnya identik dengan sejarah Islam itu sendiri, karena di dalam unsure sejarah Islam sendiri lebih banyak bertitik tolak pada persoalan pendidikan.
Ada beberapa pendapat tentang klasifikasi sejarah pendidikan Islam. Harun Nasution misalnya, membagi periode sejarah menjadi tiga bagian, yaitu 1) periode klasik (650-1250 M), 2) periode pertengahan (1250-1800 M), dan 3). Periode modern (1800 M-sekarang). Sementara menurut Munzir Hitami membagi periode sejarah pendidikan Islam menjadi empat bagian, yaitu 1) periode pembinaan, berlangsung dari masa Nabi Muhammad Saw hingga Bani Umayyah, 2) periode keemasan, satu masa yang pernah terjadi pada Dinasti Abbasiyah, 3) periode kemunduran, bagi para sejarawan menetapkan bahwa awal kejatuahan umat dimuali sejak jatuhnya Baghdad (1258 H) dan Cordova (1236 H) sebagai awal kemunduran Islam, sementara menurut Munzir bahwa awal kemunduran pendidikan Islam sesungguhnya baru terjadi sejak ummat Islam jatuh ke bawah dominasi dan cengkreman Eropa selama lebih lebih kurang dua abad (abad 16 dan 17 M); dan 4) periode kebangkitan dan pembaruan. Kedua pendapat di atas memiliki titik tekan yang berbeda, pendapat pertama lebih banyak menyoroti aspek sejarah dari kurun waktu, oleh karenanya periodisasi yang ditawarkan pun masih sangat general. Sementara pendapat kedua, di samping mengemukakan rentang waktu dari masing-masing periode yang ditawarkan, namun ada yang terlupakan bahwa bahwa masa keemasan pendidikan Islam tidak hanya terjadi pada masa dinasti Abbasiyah saja, namun pada periode awal dan pertengahan dinasti Umayyah pun pernah mengalami kemajuan dalam bidang pendidikan.
Terlepas dari perbedaan pendapat tersebut, bagi penulis sedikitnya ada 5 fase yang bisa menjadi acuan dalam memahami dan menjelaskan periodisasi pendidikan Islam. Pertama, masa pembinaan pendidikan Islam, kondisi pendidikan Islam yang terjadi pada masa awal kenabian Muhammad Saw, kedua, masa pertumbuhan dan perkembangan pendidikan Islam, yaitu kondisi pendidikan Islam yang terjadi pada masa Nabi Muhammad dan masa Khulafaaurrasyidin; ketiga, masa kejayaan pendidikan Islam, satu kondisi pendidikan Islam yang banyak menggunakan dua pola pemikiran berbeda. Dari pola pemikiran yang bersifat tradisional yang lebih banyak mendasarkan pada kekuatan wahyu (pola sufistik), hingga pola pemikiran rasional yang lebih banyak mementingkan akal pikiran dan empiris. Kedua pola inilah yang menjadi faktor lain timbulnya masa kejayaan Islam. Masa ini terjadi pada pemerintahan Bani Umayyah dan Abbasiyah; keempat, masa kemunduran pendidikan Islam, satu masa dimana kondisi ummat Islam saat itu lebih banyak bertumpu pada cara berfikir tradisional (sufistik) dan tidak lagi mau menggunakan pola berfikir rasional yang telah diambil oleh Barat. Kondisi ini terjadi kira-kira abad ke VIII dan abad ke XIII M, pasca kehancuran Bagdad dan Granada sebagai pusat-pusat pendidikan dan kebudayaan Islam ke tangan raja Hulagu dari Mongolia. Dan yang kelima, masa pembaharuan atau modernisasi pendidikan Islam. Sebuah totalitas kesadaran kolektif ummat Islam terhadap segala kekurangan dan problematika yang dihadapi pendidikan Islam untuk kemudian bisa diperbaiki dan diperbaharui sepadan dengan kemajuan atau minimalnya bisa mengikuti perkembangan yang dilakukan Barat saat itu.
Dengan demikian, tujuan Sejarah Pendidikan Islam adalah bagaimana rekaman masa lalu tentang pendidikan Islam yang pernah terjadi dan akan berlangsung dapat diketahui, diamalkan, diajarkan, dan dibandingkan oleh generasi selanjutnya, sehingga warisan masa lalu yang ditinggalkan bukan tanpa arti tapi dapat menjadi cermin bagi kegiatan pendididikan Islam di masa sekarang yang akan datang. Oleh karenanya, pembahasan sejaran pendidikan Islam lebih banyak berkutat pada perilaku pengamalan pendidikan Islam masa klasik (keemasan), kemunduran, dan pembaruan.
Bagan tersebut memperjelas kesimpulan bahwa Sejarah Pendidikan Islam lebih banyak mengungkap persoalan-persoalan pendidikan yang pernah terjadi, dialami pada tiga masa tersebut, oleh karenanya ruang lingkup pembahasan dari SPI pun hanya terbatas pada pengungkapan persoalan pendidikan Islam dalam masalah waktu, pelaku, tempat, nama kelembagaan, kurikulum, dan akhirnya membandingkan beberapa komponen pendidikan tersebut dari ketiga masa di atas. Hal inilah kemudian yang kemudian membedakan dengan istilah Sejarah dan Filsafat Pendidikan Islam. Satu kajian yang tidak hanya mengedepankan persoalan pengungkapan sejarah dari sisi waktu, periodisasi dari masa ke masa, tapi bagaimana pengungkapan sejarah pendidikan Islam mampu diurai, dianalaisis, dibandingkan secara komprehenship dengan tidak melupakan konsepsi dasar dari pendidikan Islam itu sendiri, yakni manusia (subjek maupun objek), kurikulum, metode, institusi, evaluasi dan lingkungan dalam pendidikan Islam.
Oleh krena itu, obyek sejarah pendidikan Islam mencakup fakta-fakta yang berhubungan dengan pertumbuhan dan perkembangan pendidikan Islam, baik informal, formal maupun non formal.
Sementara kegunaan sejarah pendidikan Islam adalah sebagai berikut: 1) sebagai media untuk menjadikan kejadian atau peristiwa masa lalu sebagai i’tibar, atau keteladanan bagi yang mempelajarinya, 2) memberikan perbendaharaan perkembangan ilmu pengetahuan (teori dan praktek, juga untuk menunmbuhkan perspektif baru dalam rangka mencari relevansi pendidikan Islam terhadap segala bentuk perubahan dan perkembangan ilmu dan teknologi. 3) menjadikan segala kejadian atau peristiwa yang positif sebagai model (design) dalam penyelenggaraan pendidikan di masa sekarang. []